KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-05
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika
mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan
suaminya cepat melakukan pengejaran, tentu saja ke utara! Apa lagi
ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat
melihat Sie Liong pada malam hari itu, membawa sebuah buntalan menuju ke
pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbang pun dia
mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar
dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia pun pulang dengan wajah lesu.
Hatinya tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!
Seperti sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk, dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.
Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!
Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.
“Aihh, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.
Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.
Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapa pun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.
Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”
Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
“Bukkk!”
Tendangan itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.
Saat dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada. Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.
Ahh, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Hidup di dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya.
Dia merasa aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.
Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.
Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.
Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.
Akan tetapi, pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.
“Siapa itu?” Gadis itu menegur.
Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
“Hayo katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.
“Aku... aku bukan maling...” katanya lirih.
Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
“Eiiiiihhh...!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.
“Setaaan...! Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang!
“Sungguh sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.
“Mana dia? Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas suaranya agak gemetar.
“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu lalu merangkul ibunya.
Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.
“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.
Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
“Maaf, paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang mengharapkan pertolongan kalian.”
Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
“Iiihhh...!” Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!
Kini pria setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.
“Ambilkan satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
“Baik, ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.
Ayah, ibu beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.
“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku Liong, she Sie.”
Ketika itu, pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.
Dengan perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.
“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”
Sie Liong mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.
Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali.
Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat orang itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang kasar.
“Jika engkau sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata sang ayah.
“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.
Pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.
Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat kepada mereka.
“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”
Pada malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.
Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.
Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.
Agaknya, dia perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh.
Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.
Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Maka, tanpa disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!
Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.
“Tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!
Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah ketahuan dan telah menjadi kacau balau!
Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itu pun tidak ada gunanya lagi.
“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet.
Tiba-tiba tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!
Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!
“Siancai...! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
“Desss...!”
Thay Ku Lama terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting dan terbanting keras!
Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”
Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Siancai...! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In Tosu.
Tosu ini segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.
Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan para Lama itu.”
Dua orang itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.
“Thian Yang Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.
Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!
Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak.
Ketika Sie Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”
Pek In Tosu menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”
Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.
“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”
“Siancai...! Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”
Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In Tosu.
“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..
********************
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.
Orang ke dua juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa Cinjin.
Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.
Mereka bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.
Tidak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai...! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.
Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya terasa nyeri.
Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum lenyap sama sekali.
“Ketika itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh…” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama hendak menculiknya?”
“Ini pun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar mau pun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai...! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri.
Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya.
Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini.
Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.....
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia pun pulang dengan wajah lesu.
Hatinya tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!
Seperti sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk, dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.
Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!
Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.
“Aihh, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.
Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.
Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapa pun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.
Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”
Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
“Bukkk!”
Tendangan itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.
Saat dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada. Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.
Ahh, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Hidup di dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya.
Dia merasa aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.
Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.
Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.
Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.
Akan tetapi, pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.
“Siapa itu?” Gadis itu menegur.
Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
“Hayo katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.
“Aku... aku bukan maling...” katanya lirih.
Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
“Eiiiiihhh...!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.
“Setaaan...! Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang!
“Sungguh sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.
“Mana dia? Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas suaranya agak gemetar.
“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu lalu merangkul ibunya.
Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.
“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.
Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
“Maaf, paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang mengharapkan pertolongan kalian.”
Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
“Iiihhh...!” Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!
Kini pria setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.
“Ambilkan satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
“Baik, ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.
Ayah, ibu beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.
“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku Liong, she Sie.”
Ketika itu, pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.
Dengan perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.
“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”
Sie Liong mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.
Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali.
Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat orang itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang kasar.
“Jika engkau sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata sang ayah.
“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.
Pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.
Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat kepada mereka.
“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”
Pada malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.
Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.
Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.
Agaknya, dia perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh.
Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.
Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Maka, tanpa disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!
Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.
“Tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!
Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah ketahuan dan telah menjadi kacau balau!
Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itu pun tidak ada gunanya lagi.
“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet.
Tiba-tiba tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!
Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!
“Siancai...! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
“Desss...!”
Thay Ku Lama terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting dan terbanting keras!
Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”
Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Siancai...! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In Tosu.
Tosu ini segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.
Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan para Lama itu.”
Dua orang itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.
“Thian Yang Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.
Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!
Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak.
Ketika Sie Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”
Pek In Tosu menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”
Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.
“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”
“Siancai...! Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”
Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In Tosu.
“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..
********************
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.
Orang ke dua juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa Cinjin.
Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.
Mereka bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.
Tidak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai...! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.
Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya terasa nyeri.
Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum lenyap sama sekali.
“Ketika itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh…” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama hendak menculiknya?”
“Ini pun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar mau pun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai...! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri.
Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya.
Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini.
Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.....
Komentar
Posting Komentar