KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-16
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan
dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda
yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya
yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika
menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi
musik mulai mengalun mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan
rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman, sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi, secara mendadak pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Ehh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini dari pada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali Sie Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini kemudian kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia sangat marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!”
Para pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampiri lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan mala petaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!”
Dua orang nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Beberapa orang keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang.
Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap... ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar.
Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali.
Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia sudah tidak ingat lagi.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemmm, tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok.
Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu...”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi’, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun dengan hati-hati mengelak ke kiri, kemudian dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka.
Akan tetapi, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka dia pun lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat, setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan langkah-langkahnya yang teratur. Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin. Ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, meski tidak berkuku panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Dia pun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua telapak tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawannya dapat ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan senjata, dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tak pernah melakukan kejahatan!”
Kedua orang itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang. “Engkau... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi... tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...! Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian merayakan pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak berunding, syukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang inilah saat semua orang harus berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan, kami... kami merasa terhormat dan bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu... sebab kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong...”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Pada waktu sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu menghampiri Sie Liong dan serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah... jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, tapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali.
Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan dia pun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain…..
********************
Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.
Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.
Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih kecil.
Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam bidang agama.
Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu.
Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.
Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.
Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku bangsa.
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan.
Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!
Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.
Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.
Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biar pun nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu.....
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman, sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi, secara mendadak pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Ehh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini dari pada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali Sie Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini kemudian kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia sangat marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!”
Para pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampiri lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan mala petaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!”
Dua orang nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Beberapa orang keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang.
Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap... ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar.
Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali.
Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia sudah tidak ingat lagi.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemmm, tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok.
Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu...”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi’, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun dengan hati-hati mengelak ke kiri, kemudian dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka.
Akan tetapi, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka dia pun lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat, setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan langkah-langkahnya yang teratur. Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin. Ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, meski tidak berkuku panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Dia pun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua telapak tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawannya dapat ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan senjata, dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tak pernah melakukan kejahatan!”
Kedua orang itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang. “Engkau... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi... tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...! Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian merayakan pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak berunding, syukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang inilah saat semua orang harus berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan, kami... kami merasa terhormat dan bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu... sebab kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong...”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Pada waktu sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu menghampiri Sie Liong dan serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah... jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, tapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali.
Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan dia pun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain…..
********************
Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.
Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.
Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih kecil.
Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam bidang agama.
Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu.
Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.
Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.
Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku bangsa.
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan.
Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!
Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.
Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.
Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biar pun nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu.....
Komentar
Posting Komentar