KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-33
Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan
burung sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para
pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga. Setelah mengetahui bahwa
Kim Sim Lama bersama para pembantunya sedang berada di ruangan silat,
dia pun meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu melalui
atap yang dijebolnya.
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” berkata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikap Sie Liong tenang saja walau pun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Oleh karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang kini melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menegangkan!
Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya. Dia pun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Pada saat tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, namun mengisinya dengan khikang sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang telah menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, kini engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku pasti yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena kali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”
Walau pun tahu bahwa dia menghadapi ancaman dan sedang berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling dan menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, sekarang aku telah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Mendadak saja Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu telah meloncat dan memaki. “Tak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biar pun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong.
Akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat aku percayai? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkau pun akan ikut turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang saja, apakah engkau ingin maju sendiri ataukah hendak mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak-anak buahmu!”
Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama!
Ucapan ini mengobarkan kemarahan di dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok pada saat dia maju seorang diri saja. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok sudah kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diri pun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah baik-baik! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapa pun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar?! Nah, terimalah...!”
Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan mendadak dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie Liong!
Sebetulnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai).
Kekuatan yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka segera terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Semenjak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu akan menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.
“Desss...! Plakkk!”
Pada saat tangan kanannya menyambut serangan lawan, lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat. Pertemuan tenaga sakti yang sangat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thay Ku Lama.
Pada saat itu pula, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah-olah semua tenaganya membalik, kemudian menghantam isi perutnya sendiri.
Pada saat itu, nampak sinar putih sudah menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!
Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. Thay Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.
Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntung pun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal itu tak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat semenjak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya?!
Akan tetapi, sekarang sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanannya dengan gerakan mendorong-dorong, sedangkan lengan baju kirinya menyambar-nyambar.
Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.
Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah-olah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus bagaikan seekor naga meluncur. Tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Mata Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar sekali melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiri pun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok.
Maka, tanpa malu-malu lagi dia kemudian mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak mempedulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apa lagi dia sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.
Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang bisa membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang sudah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!
Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya.
Kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia sudah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apa lagi ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama. Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu oleh pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi Sian...,” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia pergi meninggalkan ibunya, merantau bersama Bong Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sute-nya sendiri.
Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam.
Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami enci-nya. Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya, lalu pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera melangkah menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling...!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan dia pun menahan langkahnya. Dia bisa saja menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling.
Melihat sute-nya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Aku pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biarlah aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!”
Tentu saja dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka ia merasa jeri kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke mana pun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan muka pucat, terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling...”
“Liong-koko... ahh, Liong-koko...!”
Tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
“Suci, marilah kita cepat pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayahku, atau aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
“Tak perlu bohong! Tak perlu menyangkal! Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau adalah pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Mendadak terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu...!” Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu...!” Bi Sian memandang kepada ibunya dengan hati penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!”
Jari telunjuk Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku menjadi bingung, aku tidak mengerti...” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walau pun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan mengenai kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh mengejutkan sekali. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu minum arak sampai mabok di tempat itu. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang sudah membunuh ayahmu.”
“Siapa..., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemmm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku sudah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau-kalau suamiku sampai menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau telah jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau lalu membunuh suamiku yang sedang mabok. Kemudian, untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas saja dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan jejaknya sama sekali,” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang pada Bong Gan. Saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia itulah yang sudah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam...!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah...!”
Namun, seruan Sie Liong itu telah terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang.
“Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju.
Akan tetapi, Bi Sian tidak peduli. Dia melangkah maju menghampiri sute-nya, pedang Pek-lian-kiam masih terhunus di tangannya, matanya tidak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan... kau... kau.... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia nekat mencakar dan menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku...!” Bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan.
Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika ia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Mata Bong Gan terbelalak. Dia meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi...!”
Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah. Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam keadaan sekarat!
“Ling Ling... ahhh, Ling Ling... kenapa kau harus lakukan itu...?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “... aku... aku lebih baik mati... koko... aku tidak berharga lagi... dia... dia telah monodaiku...” Dan ia pun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi...! Ling-moi...!”
Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak peduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia sangat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” Sekali meloncat, Bi Sian sudah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah dari pada seekor binatang! Engkau sudah membunuh ayahku, engkau sudah membuntungi lengan kiri paman Sie Liong! Kini aku tahu, engkau sudah menodai aku dengan tipu muslihat! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Di sana sudah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja dia dapat merobohkan suci-nya, maka masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakutinya hanya Pendekar Bongkok. Biar pun dia tahu akan kelihaian suci-nya, bagaimana pun juga dia masih sanggup menandinginya.
“Bi Sian, ingatlah, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...”
Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil.
Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia pun terkejut. Tak ada kesempatan lagi untuk menangkis sehingga dia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundaknya, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya.
Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jeri itu, lalu menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri.
Bi Sian menggerakkan pedang dengan penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar bisa memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik dari pada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu oleh banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itu pun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena sudah tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan.
Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang Bong Gan melarikan diri, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Ia pun merasa amat iba kepada puterinya.
Puterinya telah ditipu oleh sute-nya sendiri yang sangat jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya sudah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia pun dapat merasakan betapa pedih hati puterinya.
Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walau pun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walau pun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat.
Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit.
Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka dia pun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt...!”
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu. Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya. Pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biar pun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Ketika itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan...!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp...!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu... maafkan... aku...”
“Bi Sian... anakku...!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, dia pun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar baginya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku... untuk apa aku... hidup lebih lama...? Paman... kau... engkau mau memaafkan aku...?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja... engkau keponakanku yang tersayang...”
Bi Sian tersenyum walau pun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman... kalau aku hidup... aku hanya akan menderita siksa batin... menyesali semua kebodohanku… aku... aku ingin mati... akan kuceritakan kepada ayah... engkau tidak membunuhnya, engkau... engkau pamanku yang baik...”
“Bi Sian...” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah... jangan banyak cakap... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...”
“Paman, engkau amat mencinta... Ling Ling...?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku... cinta padanya, Bi Sian. Aku... aku cinta...”
“Dan... aku? Kau... sayang padaku, paman...? Bukan? Kau sayang kepadaku...?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia hanya mengangguk-angguk saja, mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku...!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu... katakanlah, engkau... memaafkan aku, ibu. Paman... paman Liong juga... sudah memaafkan aku...”
Bi Sian merangkul dan di antara isaknya dia berbisik. “Ibu memaafkanmu... nak...”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
********************
Pertempuran sudah berakhir. Kim Sim Lama menjadi tawanan dalam keadaan luka-luka berat. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya.
Dalai Lama sendiri turut datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan disembahyangi. Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu sedang dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan dua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, kemudian dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai akhirnya melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya. Kemudian gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini dia hidup sebatang kara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun.
Alangkah jantannya pria itu. Ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, dan penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat sebagai seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Dan demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewatan saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewatan. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Sie Liong mengerutkan alisnya, tak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako...,” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkanlah enci-mu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika menghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya, kemudian mengenai perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini yang menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan Lie-toako lalu mengantar aku sampai ke Lhasa dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako ini mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw sampai memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk. Dia tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia kemudian bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enci-ku, Lie-toako.”
“Ahh, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau pun tahu bahwa di antara kita tak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas untuk menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, sesudah apa yang kau lakukan kepada enci-ku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku!”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu...”
Sie Liong tersenyum, bukan sekedar senyum bahkan wajahnya nampak sangat cerah. “Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua sudah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.” Sie Liong lalu menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan.
Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan dia pun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang sangat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kau duga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggota keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali apa bila engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan akhir kuserahkan pada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biar pun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak enci-nya, tanpa bicara sepatah kata. Dia membiarkan enci-nya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati enci-nya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga enci-nya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enci-ku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami...”
Walau pun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan ‘hidup bersama kami’ itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan enci-nya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap kau jaga baik-baik enci-ku yang kusayang ini. Enci Hong, selamat tinggal. Sekarang aku harus pergi.”
“Liong-te...!” Lan Hong berseru, akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te...!” Lan Hong kembali berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, marilah kita menyongsong hidup baru. Engkau pun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas, di mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itu pun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama.
Juga pasukan Dalai Lama menyerang serta memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram…..
********************
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, akan tetapi Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak kesepian.
Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian amat terkenal di seluruh dunia persilatan, biar pun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah.
Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami mara bahaya, ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan.
Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau menggunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia ramai.
Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali.
Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan lagi melibatkan diri dengan seorang wanita…..
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” berkata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikap Sie Liong tenang saja walau pun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Oleh karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang kini melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menegangkan!
Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya. Dia pun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Pada saat tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, namun mengisinya dengan khikang sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang telah menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, kini engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku pasti yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena kali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”
Walau pun tahu bahwa dia menghadapi ancaman dan sedang berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling dan menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, sekarang aku telah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Mendadak saja Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu telah meloncat dan memaki. “Tak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biar pun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong.
Akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat aku percayai? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkau pun akan ikut turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang saja, apakah engkau ingin maju sendiri ataukah hendak mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak-anak buahmu!”
Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama!
Ucapan ini mengobarkan kemarahan di dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok pada saat dia maju seorang diri saja. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok sudah kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diri pun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah baik-baik! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapa pun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar?! Nah, terimalah...!”
Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan mendadak dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie Liong!
Sebetulnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai).
Kekuatan yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka segera terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Semenjak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu akan menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.
“Desss...! Plakkk!”
Pada saat tangan kanannya menyambut serangan lawan, lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat. Pertemuan tenaga sakti yang sangat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thay Ku Lama.
Pada saat itu pula, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah-olah semua tenaganya membalik, kemudian menghantam isi perutnya sendiri.
Pada saat itu, nampak sinar putih sudah menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!
Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. Thay Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.
Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntung pun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal itu tak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat semenjak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya?!
Akan tetapi, sekarang sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanannya dengan gerakan mendorong-dorong, sedangkan lengan baju kirinya menyambar-nyambar.
Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.
Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah-olah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus bagaikan seekor naga meluncur. Tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Mata Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar sekali melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiri pun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok.
Maka, tanpa malu-malu lagi dia kemudian mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak mempedulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apa lagi dia sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.
Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang bisa membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang sudah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!
Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya.
Kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia sudah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apa lagi ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama. Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu oleh pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi Sian...,” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia pergi meninggalkan ibunya, merantau bersama Bong Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sute-nya sendiri.
Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam.
Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami enci-nya. Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya, lalu pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera melangkah menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling...!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan dia pun menahan langkahnya. Dia bisa saja menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling.
Melihat sute-nya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Aku pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biarlah aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!”
Tentu saja dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka ia merasa jeri kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke mana pun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan muka pucat, terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling...”
“Liong-koko... ahh, Liong-koko...!”
Tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
“Suci, marilah kita cepat pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayahku, atau aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
“Tak perlu bohong! Tak perlu menyangkal! Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau adalah pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Mendadak terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu...!” Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu...!” Bi Sian memandang kepada ibunya dengan hati penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!”
Jari telunjuk Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku menjadi bingung, aku tidak mengerti...” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walau pun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan mengenai kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh mengejutkan sekali. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu minum arak sampai mabok di tempat itu. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang sudah membunuh ayahmu.”
“Siapa..., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemmm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku sudah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau-kalau suamiku sampai menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau telah jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau lalu membunuh suamiku yang sedang mabok. Kemudian, untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas saja dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan jejaknya sama sekali,” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang pada Bong Gan. Saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia itulah yang sudah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam...!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah...!”
Namun, seruan Sie Liong itu telah terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang.
“Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju.
Akan tetapi, Bi Sian tidak peduli. Dia melangkah maju menghampiri sute-nya, pedang Pek-lian-kiam masih terhunus di tangannya, matanya tidak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan... kau... kau.... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia nekat mencakar dan menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku...!” Bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan.
Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika ia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Mata Bong Gan terbelalak. Dia meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi...!”
Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah. Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam keadaan sekarat!
“Ling Ling... ahhh, Ling Ling... kenapa kau harus lakukan itu...?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “... aku... aku lebih baik mati... koko... aku tidak berharga lagi... dia... dia telah monodaiku...” Dan ia pun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi...! Ling-moi...!”
Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak peduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia sangat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” Sekali meloncat, Bi Sian sudah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah dari pada seekor binatang! Engkau sudah membunuh ayahku, engkau sudah membuntungi lengan kiri paman Sie Liong! Kini aku tahu, engkau sudah menodai aku dengan tipu muslihat! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Di sana sudah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja dia dapat merobohkan suci-nya, maka masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakutinya hanya Pendekar Bongkok. Biar pun dia tahu akan kelihaian suci-nya, bagaimana pun juga dia masih sanggup menandinginya.
“Bi Sian, ingatlah, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...”
Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil.
Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia pun terkejut. Tak ada kesempatan lagi untuk menangkis sehingga dia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundaknya, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya.
Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jeri itu, lalu menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri.
Bi Sian menggerakkan pedang dengan penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar bisa memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik dari pada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu oleh banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itu pun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena sudah tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan.
Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang Bong Gan melarikan diri, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Ia pun merasa amat iba kepada puterinya.
Puterinya telah ditipu oleh sute-nya sendiri yang sangat jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya sudah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia pun dapat merasakan betapa pedih hati puterinya.
Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walau pun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walau pun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat.
Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit.
Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka dia pun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt...!”
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu. Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya. Pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biar pun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Ketika itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan...!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp...!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu... maafkan... aku...”
“Bi Sian... anakku...!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, dia pun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar baginya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku... untuk apa aku... hidup lebih lama...? Paman... kau... engkau mau memaafkan aku...?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja... engkau keponakanku yang tersayang...”
Bi Sian tersenyum walau pun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman... kalau aku hidup... aku hanya akan menderita siksa batin... menyesali semua kebodohanku… aku... aku ingin mati... akan kuceritakan kepada ayah... engkau tidak membunuhnya, engkau... engkau pamanku yang baik...”
“Bi Sian...” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah... jangan banyak cakap... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...”
“Paman, engkau amat mencinta... Ling Ling...?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku... cinta padanya, Bi Sian. Aku... aku cinta...”
“Dan... aku? Kau... sayang padaku, paman...? Bukan? Kau sayang kepadaku...?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia hanya mengangguk-angguk saja, mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku...!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu... katakanlah, engkau... memaafkan aku, ibu. Paman... paman Liong juga... sudah memaafkan aku...”
Bi Sian merangkul dan di antara isaknya dia berbisik. “Ibu memaafkanmu... nak...”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
********************
Pertempuran sudah berakhir. Kim Sim Lama menjadi tawanan dalam keadaan luka-luka berat. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya.
Dalai Lama sendiri turut datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan disembahyangi. Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu sedang dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan dua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, kemudian dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai akhirnya melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya. Kemudian gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini dia hidup sebatang kara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun.
Alangkah jantannya pria itu. Ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, dan penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat sebagai seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Dan demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewatan saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewatan. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Sie Liong mengerutkan alisnya, tak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako...,” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkanlah enci-mu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika menghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya, kemudian mengenai perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini yang menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan Lie-toako lalu mengantar aku sampai ke Lhasa dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako ini mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw sampai memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk. Dia tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia kemudian bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enci-ku, Lie-toako.”
“Ahh, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau pun tahu bahwa di antara kita tak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas untuk menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, sesudah apa yang kau lakukan kepada enci-ku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku!”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu...”
Sie Liong tersenyum, bukan sekedar senyum bahkan wajahnya nampak sangat cerah. “Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua sudah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.” Sie Liong lalu menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan.
Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan dia pun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang sangat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kau duga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggota keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali apa bila engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan akhir kuserahkan pada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biar pun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak enci-nya, tanpa bicara sepatah kata. Dia membiarkan enci-nya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati enci-nya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga enci-nya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enci-ku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami...”
Walau pun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan ‘hidup bersama kami’ itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan enci-nya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap kau jaga baik-baik enci-ku yang kusayang ini. Enci Hong, selamat tinggal. Sekarang aku harus pergi.”
“Liong-te...!” Lan Hong berseru, akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te...!” Lan Hong kembali berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, marilah kita menyongsong hidup baru. Engkau pun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas, di mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itu pun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama.
Juga pasukan Dalai Lama menyerang serta memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram…..
********************
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, akan tetapi Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak kesepian.
Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian amat terkenal di seluruh dunia persilatan, biar pun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah.
Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami mara bahaya, ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan.
Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau menggunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia ramai.
Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali.
Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan lagi melibatkan diri dengan seorang wanita…..
Tamat
Komentar
Posting Komentar