KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-08


“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, di antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...”
“Aku tidak peduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.
“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”
Mendadak sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang bagaikan bernyala. “Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersyukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tadi tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau sudah diperkosa! Dan engkau sedikit pun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul serta mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!”
Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian.
Gadis cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong telah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.
“Tokkk!”
Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong pun berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Ia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau... kau berani memukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Gembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, ada orang yang menghinamu, dikatakannya engkau tak bisa memukul sendiri. Sekarang tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!”
Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Dia pun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka atau tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikit pun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
“Kakek, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia lalu mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kek, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini dapat terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, tentu untuk melindungi diriku sendiri. Kedua, dapat kupergunakan pula untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”
“Sie Liong... anak... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Sudah berbulan-bulan ia melarikan diri dari rumah ayah, kini entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin mengelus jenggotnya, lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya. “Engkau sungguh mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang.
Bi Sian mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya. Sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
“Kau benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apa pun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak gembel seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian dengan penuh semangat.
Dia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perutnya yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga.
Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek yang tadinya menengadah itu kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.
“Hu-hu-huuhhh...”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput. Dia sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, dia mulai curiga, akan tetapi dia tidak merasa takut, melainkan geli.
“Kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan mata kemerahan dan muka yang basah air mata, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.
Tangis, seperti juga tawa, memang memiliki daya tular yang ampuh. Biar pun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh, tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.
Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Mengapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu lebih dulu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap sebagai orang gila!”
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, dia pun berkata sambil mencela. “Mengapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis dengan menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa peduli pendapat orang lain?”
“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberi tahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.”
“Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku sedang gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...” Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”
“Apa?!” Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Aku bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orang pun tak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut... aku takut mati...”
“Hemm, engkau takut mati, kek?”
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”
Anak perempuan itu menggelengkan kepala, pandang matanya jujur terbuka dan tidak pura-pura.
“Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau urusan kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Lalu kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...”
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi ini agaknya memang benar-benar sinting!
“Wah, jangan begitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sudah sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biar aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.”
“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersikeras. “Sebelum engkau mau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”
Bi Sian seorang anak yang baru berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Dia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justru kepolosannya itu yang membuat dia memiliki pemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
“Gampang saja, kek. Jangan pikirkan mengenai mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!”
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan. Akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya’ di dalam benaknya.
“Jangan pikirkan... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsan pun tidak pernah takut, apa lagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan...! Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!”
Dia pun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh itu turun, ditangkap dan dilemparkan kembali, makin lama semakin tinggi.
Pada mulanya Bi Sian agak merasa ngeri juga. Akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya lalu disambut dengan cekatan dan lunak, ia pun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Ketika tubuhnya dilempar ke atas, dia merasa seperti menjadi seekor burung yang sedang terbang tinggi. Maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya supaya ketika dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.
“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak dengan gembira.
Kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Muridnya itu benar-benar tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka dia pun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi.
Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Semakin tinggi lemparan itu, maka membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betapa pun saktinya, Koay Tojin tetap merupakan seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, karena itu permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Mendadak dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.
“Heiii...!” Bi Sian berteriak kaget.
Akan tetapi tubuhnya sudah terlanjur masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon sehingga mengeluarkan suara berkeresakan keras. Dengan ngawur Bi Sian mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tidak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.
“Heiiiiii! Guruku... ehh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”
“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”
Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking gembira dan lega hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!”
Kakek itu lalu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, kemudian membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.
“Suhu nakal.”
“Suhu...? Siapa suhu (guru)?”
Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”
“O ya benar! Engkau muridku, aku suhu-mu. Kenapa kau bilang aku nakal?”
“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”
Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ahh, itu tidak apa-apa. Engkau harus terbiasa hidup di atas pohon, karena sering kali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman kalau tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium oleh harimau?”
“Wah, sudah sering!”
“Bagaimana rasanya, suhu?”
“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher, dan pada waktu aku terbangun... wah, di depan mukaku sudah nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!”
“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”
“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati dulu bau harum dan sedap calon mangsanya. Untunglah bauku agak tidak enak, apek, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apek, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguannya itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”
Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”
Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkir balikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
“Pertahankan keadaan seperti ini sekuatmu. Kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”
“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”
“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan masih ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!”
Dan Koay Tojin sendiri pun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kini kepalanya berhadapan persis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak sekitar dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”
“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”
“Bagus, sungguh nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”
“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut memberi hormat kepada suhu-nya.”
“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”
“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”
“Ahh, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”
Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main. Dia tertawa bergelak sambil dua tangannya bertolak pinggang.
“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”
Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”
“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru oleh murid kalau bukan gurunya?”
“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”
“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...”
“...sampai dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh.
Bi Sian tersenyum juga. Alangkah lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhu-nya sudah mulai menular padanya?
“Katakan apa tuntutanmu!”
“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”
“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.”
“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.”
“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati...! Ehh, apa yang kukatakan ini? Mati... hih, aku takut... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”
“Dan ke tiga...”
“Banyak amat!”
“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”
“Waah, heh-heh-heh, aku memang gelandangan dan gembel, akan tetapi aku pun tidak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apa pun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”
“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”
“Tentu saja?”
“Hemm, mana mungkin? Seperti sekarang ini, aku butuh sekali minum karena merasa haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?”
“Heh-heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”
Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Dia menerima mangkuk itu dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.
“Suhu, dari mana suhu bisa memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, sekarang keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih asli!
Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itu pun dia lontarkan ke udara dan lenyap!
“Kuambil dari udara... heh-heh-heh!”
Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!”
“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”
“Mengapa tidak boleh?”
“Tidak perlu kuberi tahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau dapat berpamit dari mereka.”
“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda saja!”
“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Jika engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”
“Tapi sayang sekali jika kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”
“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.”
“Mana mungkin, suhu?”
“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti, pikirnya. Ingin berlomba dengan kudaku yang larinya cepat bagaikan angin? Bagaimana pun juga, ia tidak percaya suhu-nya akan mampu menandingi kecepatan kudanya.
Ia pun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepatlah, suhu. Hari sudah mulai sore!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda itu berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh.
Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhu-nya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu sedang berjalan tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!
Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya matanya terbelalak melihat suhu-nya tetap berada di belakang kudanya, bahkan kini memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya!
Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhu-nya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini.
Akan tetapi suhu-nya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong!
Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan sama sekali? Bukankah tadi lima orang ‘perampok’ itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?
“Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”
Bi Sian terkejut. “Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”
“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”
“Kalian mau apa menghadang perjalananku?” Bi Sian membentak kepada lima orang itu. “Minggir!”
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!”
Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sudah terjadi. Dia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kau suruh menggangguku tadi, kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk bisa menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!”
Lu Ki Cong tak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam.
Koay Tojin hanya tersenyum lebar, lalu dia berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, sekarang hajarlah mereka, jangan beri ampun seorang pun, terutama tikus cilik di belakang itu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadi pun ia tak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Cong pun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...”
“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya.
Besarlah hati Bi Sian. Dia merasa percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu. Gurunya memerintahkan supaya ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya.
Dan tongkat itu agaknya sebuah tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu bisa menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhu-nya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya.
Tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian langsung menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimana pun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit serta langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat.
Kalau tadi mereka ‘dihajar’ oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menaklukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.
Tadi Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar serta membunuh kakek gembel yang sudah menghina dirinya, juga sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, salah seorang di antara mereka yang brewokan maju dan mengulur tangannya. Orang ini hendak menangkis, lalu menangkap dan merampas tongkat butut ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya.
Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak bisa digerakkan seperti bertemu dengan suatu benda yang tak nampak. Sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
“Plakkk!”
Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika ‘mimisan’.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi kembali terjadi keanehan ketika mendadak dua orang itu terhenti gerakan mereka, dan seperti patung tak mampu lagi melanjutkan gerakan mereka.
Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang ke arah kepala.
“Tukkk! Tukkk!”
Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!
“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Ia pun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, serangan dua orang itu juga tertahan dan mereka tidak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biar pun tidak sampai terluka parah akan tetapi pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.
“Bocah setan, berani kau memukul kami?” bentak si brewok.
“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biar pun lima orang itu kini sudah marah, bahkan mereka telah mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian.
Meski pun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah berlatih silat dan mempunyai tenaga cukup kuat, sedangkan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh mereka pun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya. Ia pun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!” teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya.
Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang sudah dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya. Biar tahu rasa monyet itu, heh-heh-heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya.
Bi Sian terus menghajar Ki Cong hingga pemuda itu berdarah hidungnya, babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru. Akhirnya pemuda itu pun menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis!
Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biar pun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik serta menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walau pun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu!
Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara tawa gelak Koay Tojin mengikuti mereka, membuat mereka semakin takut dan berusaha berlari secepatnya sampai jatuh bangun!
Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya mandi peluh, akan tetapi wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walau pun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain.
Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhu-nya ini seorang manusia luar biasa! Ia pun tahu benar bahwa suhu-nya yang tadi sudah membantunya, maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kali pun mendapat balasan pukulan dari mereka.
“Sudahlah, suhu. Apa sih yang sedang kau tertawakan begitu hebatnya?” katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan dia pun bangkit berdiri.
“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau sudah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak membuat susah suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.”
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka ia pun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan.
Karena itu, hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia pun menurut saja petunjuk suhu-nya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin sekali akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!”
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali dia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.
“Aku mulai khawatir, mengapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum pulang juga. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
“Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar lagi. Tidak perlu khawatir.”
“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...”
“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Walau pun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah mempunyai kepandaian yang cukup untuk dapat melindungi diri sendiri. Dan ia pun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong jadi terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan.
Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Bi Sian...!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkanlah baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku sudah mendapatkan seorang guru. Guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”
“Bi Sian...!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu.
Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa sangat penasaran dan cepat melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.
Mendadak terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka. Tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan dia pun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itu pun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.
Akan tetapi semua usahanya untuk mencari Bi Sian sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Dia pun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin.
Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa!
Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya bisa menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali.
“Aku akan mencarinya..., aku akan mencarinya sampai jumpa kemudian membawanya pulang...” Dia menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang, namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, semakin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang sudah dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel serta bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya.
Dia pun minta maaf kepada Lu-ciangkun, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini.
Yauw Bi Sian yang tadinya seakan-akan menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, sekarang menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya.
Baru saja ia kehilangan adik kandungnya. Dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun.....
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu