KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-11


Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang dia dapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan Siu Si...!” teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia kemudian memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan terus menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong.
Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung besar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah?!” Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.
“Kau... kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Kedua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak menunjukkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan hanya seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” salah seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!” Orang ke dua memperoloknya.
Namun Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan... jangan membunuh orang...!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu. “Orang muda, pergilah, larilah...!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin mempedulikannya.
Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, “Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, karena itu mereka patut dihajar...”
Baru saja Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri, mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras.
“Ngek! Ngek!”
Mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!” katanya.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar. Tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah ke depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh... aduhhh... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mendorongnya sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap... mata kami buta, harap maafkan...” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap taihiap cepat pergi dari sini... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama banyak anggota gerombolannya...”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan cucunya sedang terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadi pun menganjurkan agar dia melarikan diri supaya tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa perlu diperintah lagi, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.
Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
“Mana kami berani?” akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
“Andai kata Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!”
“Kami... kami tidak berani...” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apa lagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!” berkata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat?
Meski pun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi sudah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya.
Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.
Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi, tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu!
Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.
“Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!” Dan dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang. Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun maju menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat pundaknya. Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku!
Di lain saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!

Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba saja datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun!
Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan para anak buahnya, mereka menjadi bersemangat. Pada waktu melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening akibat terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok serta dipukuli oleh para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, semakin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuh mereka pun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka dia pun segera melempar tubuh kepala dusun Bouw yang langsung jatuh berdebuk, kemudian terguling-guling.
Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan dia pun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei...! Keparat... ini aku, lurahmu...!” teriaknya.
Akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dari rumah dan mereka pun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga supaya mereka tidak sampai melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie Kauwsu...!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh amat menyedihkan, keadaannya lebih dari setengah mati.
Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya.
Akan tetapi Sie Liong merasa bersyukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia lalu menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, berusaha keras untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli oleh rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun... ampunkan saya... saya tidak berani lagi... saya berjanji akan menjadi lurah yang baik...”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri kami sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang cepat engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia bersama anak buahnya, lalu kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Sekarang mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang sudah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon supaya taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap...!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada pula yang dengan pandang mata kasihan.
Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih memiliki tugas yang sangat penting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apa lagi mengingat bahwa aku tidak mempunyai pengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang benar-benar dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang sangat tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, kini diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya bisa menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena dia pun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu. Akan kuceritakan pula tentang keadaan di Tiong-cin ini, juga tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak-anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda.
Kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, langsung membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Janganlah kalian takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapa di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tak pernah berlatih, akan tetapi pada saat Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan, terlebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang lebih dulu saya ingin pergi berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ahh, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berjejer. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah dan ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, dia pun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri turut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “Apakah suheng Kim Cu An ini pun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ahh, dari mana taihiap mendengar berita itu? Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak di wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suheng-nya, lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia memiliki dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walau pun tadinya kami ragu-ragu...” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu memiliki beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang pada saat itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada satu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Kemudian bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Enci-mu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Akan tetapi barang-barang itu, rumah itu, telah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Walau pun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi enci-mu, Sie Lan Hong...”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu menggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, sejenak ia termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersemedhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa enci-nya bercerita lain? Mengapa enci-nya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah enci-nya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah enci-nya sengaja membohonginya? Tetapi, bagaimana mungkin enci-nya berbohong kepadanya?
Dia yakin benar betapa besar kasih sayang enci-nya kepadanya. Tadi dia tidak mau lagi membicarakan urusan itu dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau-kalau orang-orang mencurigai enci-nya. Tetapi betapa pun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa enci-nya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya enci-nya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari enci-nya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, enci-nya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya supaya para penduduk itu dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang dulu pernah belajar silat pada Sie Kauwsu, berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan sambil merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.
Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit.
Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali enci-nya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapa enci-nya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari enci-nya.
Pada keesokan harinya ia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang sudah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan dengan taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Ia memang memiliki rasa persaudaraan yang dekat sekali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Apa bila para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa hari pun apa salahnya? Biar pun hatinya ingin sekali segera mendengar dari enci-nya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak perlu tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kalau saja dia belum menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir mengenai jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apa bila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ahh, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberi tahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah enci-mu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri.
Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberi tahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah serta senyum pada bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka lantas menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan.
Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan mereka pun diam. Wajah mereka berseri-seri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Kemarin, perjodohan ini sudah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan dia pun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusan darinya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada enci-nya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang dahulu ke Sung-jan untuk minta persetujuan enci-nya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka, bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, dia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia sudah akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana bila ternyata enci-nya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau enci-nya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau enci-nya tak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apa lagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita.
Akan tetapi, bagaimana kalau enci-nya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya? Ini pun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada enci-nya.
Dan Bi Sian... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat pada Bi Sian? Uhhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Sekarang dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Mendadak Sie Liong bangkit duduk. Dia pun memejamkan mata sambil mengerahkan pendengarannya yang sudah sangat terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak beres, apa lagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Biar pun tidak secara resmi, bahkan kong-kong telah menyetujui jika Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi mengapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Sie Liong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
“Aku tidak peduli! Biar dia sakti seperti dewa sekali pun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa yang mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata demikian, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Sui-koko...”
“Hushhh...!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapa pun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu