KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-04


Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan goa pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.
Para penduduk perkampungan sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan. Karena kakek itu dikabarkan sangat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia pun disebut sebagai Pek-sim Siansu.
Sebutan ‘pek-sim’ ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai orang yang berhati putih, seorang yang sangat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Siansu (Guru Suci Berhati Putih).
Kakek ini telah mengalami suatu kejadian aneh. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai tengah malam dia bersemedhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapa pun, ia pergi begitu saja meninggalkan goa pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet!
Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dirinya supaya melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Siansu, peristiwa mendapat ilham atau isyarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi.
Manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang dengan nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu, maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!
Kekuatan alam ini merupakan kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam sudah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan serta batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isyarat-isyarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan penglihatan, dalam sadar mau pun dalam tidur
. Dan Pek-sim Siansu sudah mencapai tingkat seperti itu. Maka, tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang tengah terjadi di daerah perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tidak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biar pun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san ini pun telah terkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.
Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang yang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Penyebabnya hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!
Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar supaya dapat hidup tenteram dan damai, menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, di antara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar telah menjauhkan diri dari permusuhan. Maka mereka itu mengalah, lalu diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka ‘mengungsi’ ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Siansu juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, amat jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang mengamuk serta menyerang para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya. Mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu lalu mengamuk ke sana!
Menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-pai. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biar pun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak.
Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui bahwa Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Apa bila kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuh para pertapa yang tak berdosa, maka berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya dan bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama Jubah Merah dari Tibet itu kemudian mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak pada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.
Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang sangat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncang Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hwat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Di perguruan Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkatan. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hwat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorang pun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.
“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walau pun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai...!” Thian Hwat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama Jubah Merah itu, bukan?”
“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aihh, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili Dalai Lama di Tibet untuk memberi hukuman kepada mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apa pun, bagaimana kita dapat mencampuri? Apa bila kita ikut bertindak, mungkin malah dapat menimbulkan salah paham yang lebih besar, sute.”
“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat seperti itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar supaya mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu justru memberi contoh yang buruk sekali kepada para murid?”
“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya yang terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”
“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersemedhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu lalu meninggalkan suheng-nya untuk bersemedhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia lebih kurang dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.
Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biar pun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru mencapai tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama.
Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walau pun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat bila mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempah-rempah dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri, dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.
“Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kami bunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.
“Siancai...! Puluhan tahun yang lalu, pada waktu pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan menyelinap dengan hati-hati di antara pepohonan mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah. Pakaian tosu itu robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya.
Dua orang Lama itu berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Ada pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak berdosa? Omitohud... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, semenjak puluhan tahun yang lalu telah mempunyai rencana jahat di Himalaya, yaitu berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama serta merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah, untuk apa lagi bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau adalah seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?!” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai... memang pinto disebut Pek In Tosu. Kami tiga orang kakek dari Himalaya telah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apa lagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai...! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa?! Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran mereka pun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke perguruan itu sudah diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka menjadi marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apa lagi mereka pun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang.
Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.
Sementara itu, kedua orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu kedua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam bagaikan mata harimau, dan suaranya terdengar parau serta penuh teguran.
“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani ikut mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat bahwa kalian masih kanak-kanak, biar pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”
“Kami bukan orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat begitu saja membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami telah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia tampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apa lagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat dia pun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng itu berkata, “Ha-ha-ha, semenjak kapankah Thian Hwat Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian menggunakan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai...! Ji-wi kongcu harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu bisa membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun.
Sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa.
Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”
Ini merupakan tantangan! Tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apa lagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina perkumpulan mereka pula.
“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar supaya tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua orang Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi?
Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru!
Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berdua pun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua orang pendeta Lama itu.
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.
“Krekkk! Krekkk!”
Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu. Sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju. Dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan mereka pun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya bisa memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak engkau habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju. Tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
“Siancai..., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”
Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat. Nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai...! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga telah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku Lama.
Pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok. Kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara.
“Kok-kok-kok!”
Dan kedua tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan. Seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia sudah siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agaknya, untuk menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang bermuka codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya supaya dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang sekarang diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang mengandalkan sinkang dan khikang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Perut gendut yang menggembung itulah yang menjadi sumbernya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh.
Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut, “Siancai... pinto terpaksa melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan...!”
Dan kakek ini pun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong. Tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada seperti menyembah dan dia pun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kokok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat, dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itu pun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan.
Pek In Tosu melihat ini semua. Akan tetapi dia masih tetap tenang saja, bukan tenang memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apa pun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan. Bunyi kokok itu semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu, angin keras yang membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!
Bukan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja sudah mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan, dan asap hitam itu pun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu sakti Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulan lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.
“Plakk! Plakk!”
Dua pasang tangan itu saling bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.
Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah datang menyerangnya. Lama muka bopeng ini juga lihai bukan main, dan begitu menyerang dia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).
Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mukjizat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
“Siancay…!” Pek In Tosu memuji dan berseru, dilanjutkan dengan pembacaan mantera dan dia pun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang.
Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mukjizat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat Thay Si Lama semakin terdesak, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kokok lagi dan dia pun membantu sute-nya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sinkang-nya yang setingkat lebih kuat, disertai keringanan tubuhnya yang memudahkan ia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak.
Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia. Apa lagi selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, sebab itu tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka sering kali berkelahi, maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai...!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!
Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun dan cepat menahan gerakan mereka. Mereka merasa amat heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersemedhi, kedua telapak kakinya telentang di atas paha. Itulah cara duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat.
Mereka mengira bahwa kakek itu telah kelelahan dan pasrah untuk mati, maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok dan menyerang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya itu duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu!
Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala. Kalau saja pukulan itu tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika! Akan tetapi, Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Dukkk!”
Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan pasrah menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat!
Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental!
Thay Si Lama menjadi penasaran dan dia pun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menjadi makin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah sangat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka merupakan tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia!
Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil bila kini menghadapi seorang pertapa tua renta saja mereka sampai tak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian mau pun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah pula hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka.
Keduanya saling pandang, memberi isyarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba mereka pun menghentikan serangan mereka dan hanya berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja para dewa.
Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir. Nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, tetapi juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kokok seperti kalau dia sedang mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit.
Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khikang dan sihir. Suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka pun menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, tindakan mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka sendiri.
Mula-mula tubuh Pek In Tosu gemetar. Kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa ia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu!
Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil semedhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apa pun dari luar.
Akan tetapi, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar walau pun dia berusaha keras mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu memiliki kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran!
Getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuh Pek In Tosu gemetar. Dia pun lalu melawan, mengerahkan khikang sehingga dari kepalanya keluar uap putih yang semakin lama semakin menebal. Namun, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang.
Mula-mula goyangan itu hanya perlahan-lahan. Tetapi makin lama goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Sekarang keadaan kakek tua renta itu gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu ialah sejenis ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Jika Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara lainnya yang memecahkan kesunyian. Tadinya yang terdengar hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu!
Suara ini pun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya. Tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tidak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu sedang memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan ‘paduan suara’ antara mereka.
Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah. Mereka lalu cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena jika mereka bisa membuat irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.
Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu semakin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala!
Akan tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena ketukan bambu itu sekarang berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama. Bahkan kini ketukannya menjadi lebih keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat. Kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, lalu berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.
Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka. Kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balaunya sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali.
Pek In Tosu seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia sudah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan.
Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-gelengkan kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka menjadi kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, bahkan sebagian menutupi dahi dan mukanya.
Wajah itu tidak buruk, malah bentuknya tampan. Matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, akan tetapi wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong!
Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan juga menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apa lagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah.
Tiba-tiba dia mendengar suara enci-nya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan membentak! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara tadi keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar enci-nya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan dia memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang sungguh keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Ehh? Apa yang kau katakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan Sie Liong yang mendengar ucapan enci-nya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt...! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar enci-nya menangis. “Setelah... setelah apa yang kulakukan untukmu semua... setelah kuserahkan badanku, cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku dapat diselamatkan..., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia telah menjadi bongkok, cacat, dan engkau... masih juga membencinya?”
“Kau jelas keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa aku pun suka padanya, hanya aku..., benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu... dia seolah-olah menjadi penghalang kebahagiaan kita... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...”
Hening sejenak, lalu terdengar enci-nya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?!” enci-nya setengah menjerit. “Maksud... maksudmu...?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia dapat menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu sangat baik baginya? Menjadi seorang hwesio merupakan kedudukan yang terhormat, mulia dan bahkan disegani orang.”
“Ahhh... tetapi... tetapi...”
“Tidak ada tetapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau juga menghendaki supaya kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, lalu terdengar enci-nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku boleh mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, ingin menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia takkan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat enci-nya cekcok dengan suami enci-nya. Bagaimana pun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah enci-nya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihu-nya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihu-nya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut?
Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia kemudian mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi sebuah buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.

Sie Liong
. Biar pun baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah utara kota itu. Dia sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu