KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-03
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak
kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang
menangkisnya.
Pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku...!”
“Mengapa ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri...”
“Paman, kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong! Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?! Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak masing-masing satu sama lain.
Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah memukuli paman Liong.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan.
Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh, jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji... jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru melarangnya?”
“Ayahmu... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau! Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru! Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong, pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihu-nya.
Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya.
Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
********************
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati enci-nya.
Cihu-nya amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?”
“Aku pun merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian, sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh selidik.
“Ahh, tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengar cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
********************
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Beberapa bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang diri dalam kesunyian.
Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar
memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.
Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.
Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.
Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun tersenyum penuh bahagia.
Alangkah bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala keindahan itu!
Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan semua itu!
Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan, iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan
.....
Pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku...!”
“Mengapa ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri...”
“Paman, kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong! Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?! Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak masing-masing satu sama lain.
Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah memukuli paman Liong.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan.
Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh, jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji... jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru melarangnya?”
“Ayahmu... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau! Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru! Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong, pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihu-nya.
Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya.
Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
********************
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati enci-nya.
Cihu-nya amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?”
“Aku pun merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian, sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh selidik.
“Ahh, tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengar cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
********************
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Beberapa bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang diri dalam kesunyian.
Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar
memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.
Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.
Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.
Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun tersenyum penuh bahagia.
Alangkah bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala keindahan itu!
Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan semua itu!
Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan, iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan
.....
Komentar
Posting Komentar