KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-10
Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan penuh kelembutan. Dia
melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara dua
telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air
yang kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang
terluka oleh pukulan tongkat. Sungguh anak perempuan yang manis, anak
perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerima dirinya sebagai
murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau pasti akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...”
Bi Sian terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa kikuk.
“Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri.
Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap Bong Gan yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan menjual hasil buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka…..
********************
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi dan sepi.
“Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi akan berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apa pun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak sekali barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu. Ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apa lagi kalau ada maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Akan tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan apa bila panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal di dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk sehingga dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona, ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya memang bukan orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya... saya, pengantin baru... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya!
Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Janganlah menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat. Berkali-kali dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil yang menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun sudah bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar pun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran Cun. Biar pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih. Mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa.
Pek Lan terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya, untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga hanya dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.
“Subo, cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi..., tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya seperti babi, aku jijik...”
“Engkau jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita’ di dalam pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti dengkurnya babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi!
Dengan memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya supaya tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat lari menghampiri.
Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga.
Mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, mendadak mereka pun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas sebelum terbanting ke atas tanah.
Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu terbakar! Mereka berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itu pun cepat-cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian, yang membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas lebih dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian dia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang dapat membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarian menabrak sana-sini, sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran pula.
Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui.
Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang betul keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu.
Akan tetapi, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung.
Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walau pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu sebetulnya bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata sambil bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik tubuh dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa, pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh, jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Meski Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu pula menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang sangat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun.
Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat…..
********************
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat. Mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak mudah, orang harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Siansu untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Siansu, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang nantinya akan menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan ini pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan itu terkandung hawa yang amat dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suheng-nya dan seorang suhu-nya, tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk bersemedhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia keluar melihat kemajuan yang dicapai oleh murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda yang cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasai oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat maksud pinto dan para suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini telah memberi bimbingan kepada teecu.”
Pek-sim Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut pergi meninggalkan tempat itu. Dia menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.
Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkan dirinya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti sikap kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu.
Ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itu pun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu seharusnya ditengok, namun kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan petani.
Salah seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada kakek itu, tidak mempedulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu... ahhh, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi sehingga banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok uang yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang, mengerti?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotong pun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu...?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk diajak berjalan cepat.
Kakek itu masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang mengajaknya untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela. Mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke sana...”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini. Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah.
Pada saat gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walau pun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.....
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau pasti akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...”
Bi Sian terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa kikuk.
“Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri.
Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap Bong Gan yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan menjual hasil buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka…..
********************
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi dan sepi.
“Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi akan berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apa pun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak sekali barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu. Ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apa lagi kalau ada maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Akan tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan apa bila panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal di dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk sehingga dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona, ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya memang bukan orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya... saya, pengantin baru... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya!
Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Janganlah menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat. Berkali-kali dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil yang menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun sudah bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar pun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran Cun. Biar pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih. Mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa.
Pek Lan terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya, untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga hanya dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.
“Subo, cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi..., tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya seperti babi, aku jijik...”
“Engkau jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita’ di dalam pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti dengkurnya babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi!
Dengan memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya supaya tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat lari menghampiri.
Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga.
Mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, mendadak mereka pun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas sebelum terbanting ke atas tanah.
Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu terbakar! Mereka berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itu pun cepat-cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian, yang membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas lebih dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian dia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang dapat membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarian menabrak sana-sini, sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran pula.
Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui.
Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang betul keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu.
Akan tetapi, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung.
Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walau pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu sebetulnya bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata sambil bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik tubuh dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa, pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh, jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Meski Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu pula menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang sangat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun.
Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat…..
********************
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat. Mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak mudah, orang harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Siansu untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Siansu, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang nantinya akan menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan ini pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan itu terkandung hawa yang amat dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suheng-nya dan seorang suhu-nya, tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk bersemedhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia keluar melihat kemajuan yang dicapai oleh murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda yang cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasai oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat maksud pinto dan para suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini telah memberi bimbingan kepada teecu.”
Pek-sim Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut pergi meninggalkan tempat itu. Dia menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.
Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkan dirinya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti sikap kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu.
Ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itu pun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu seharusnya ditengok, namun kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan petani.
Salah seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada kakek itu, tidak mempedulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu... ahhh, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi sehingga banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok uang yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang, mengerti?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotong pun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu...?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk diajak berjalan cepat.
Kakek itu masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang mengajaknya untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela. Mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke sana...”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini. Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah.
Pada saat gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walau pun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.....
Komentar
Posting Komentar