KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-26


Pada waktu kedua lengan lawannya menghantam dengan pengerahan sinkang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.
“Dukkk!”
Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia sendiri terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring dikarenakan marahnya, dan ketika dia melompat ke depan, dia sudah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.
“Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang senjata tajam? Apa lagi sepasang!” Sie Liong memperingatkan.
Sebenarnya, menggunakan senjata untuk membunuh orang merupakan pantangan bagi seorang pendeta, apa lagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan yang tak bersenjata!
Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. “Jangan banyak mulut! Cepat kau keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!” tantangnya.
“Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!” kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur. “Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.”
“Tidak! Kau kalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan lima orang suheng Tibet Ngo-houw!” si cebol berkeras.
Sie Liong menarik napas panjang. Pada waktu dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca.
Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, lalu mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan dia pun berkata,
“Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.”
Sie Liong menggunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya.
“Lihat pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak mau menyerang lawan tanpa memberi peringatan lebih dahulu.
Dua gulungan sinar berkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara amat cepat dan kuat sekali. Akan tetapi, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan.
Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama!
Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu! Akan tetapi, di antara ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja, namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama.
Tentu saja pendeta ini menjadi semakin terkejut dan bingung. Dia lebih condong untuk melindungi tubuhnya yang akan tertotok, karena itu tanpa dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba terasa lumpuh dan sepasang pedangnya pun terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata, “Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.”
Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat. Dia segera menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedang itu, bersiap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.
“Tahan senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”
Ki Tok Lama sejenak hanya memandang melotot ke arah Sie Liong. Akan tetapi ia tidak berani membantah perintah susiok-nya dan dia pun mundur sambil menyimpan kembali sepasang pedangnya ke balik jubah merah.
Kiranya pada waktu Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena sekarang yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang.
“Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Siansu?”
Sie Liong terkejut bukan main. Sungguh tajam pandangan mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat sangat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.
“Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Siansu,” jawabnya jujur.
“Hemm, begitukah? Nah, sekarang lekas katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.”
Sie Liong memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apakah sesungguhnya alasan yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka? Jawab sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?”
Thay Ku Lama tertawa bergelak. Perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar.
Pendeta Lama ini memang mempunyai ilmu yang luar biasa hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, yaitu suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia gunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam.
“Ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!”
“Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, atau para pertapa itu terhadap Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang dulu sudah pernah diperbincangkan para gurunya itu.
“Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.
“Nanti dulu, losuhu. Memang pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, yaitu seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Lalu terjadilah perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?” Sie Liong pernah mendengar cerita itu dari tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.
“Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.”
“Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang ketika itu hendak diculik oleh para para pendeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimana mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagaimana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?”
Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan Thay Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dengan wajah berubah merah. Tidak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka!
Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa.
“Ha-ha-ha-ha! Omitohud...! Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba untuk mencegah perintah itu karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim, dan karena itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama lalu berdiri sendiri di sini. Kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itu pula sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai. Kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami juga, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia adalah seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama, akan tetapi malah dibalasnya dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!”
Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percaya begitu saja, pula dia pun tidak ingin melibatkan dirinya dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.
“Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, maka biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Nah, selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.”
Akan tetapi, agaknya sudah ada isyarat dari Kim Sim Lama. Begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagai macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sana pun sudah rapat tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga. Jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walau pun masih lembut.
Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. “Ada apa lagi, losuhu?”
“Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, jika engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, apa bila engkau menolak dan hendak pergi begitu saja dengan membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!”
Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!
“Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”
“Sie Liong!” Kim Sim Lama membentak, kini terdengar sangat marah. “Dengar baik-baik! Pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang kedua setelah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah seorang calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”
“Losuhu, mati hidup bukan di tangan siapa pun, melainkan di tangan Thian Yang Maha Kuasa! Apa bila Thian sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, namun sebaliknya, kalau Thian menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Thian, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Thian. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apa pun yang akan menjadi akibatnya!”
Semua pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum sekali. Pemuda ini, biar pun bongkok ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapa pun kagum rasa hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.
“Sie Liong, engkau masih amat muda, akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanmu. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka engkau berani menentang kami! Thay Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang di antara kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.
Biasanya, apa bila menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hadapi hanya seorang pemuda bongkok. Betapa pun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama!
Bahkan Thay Ku Lama sendiri pun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu. Karena itu, dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda di antara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suheng-nya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombak karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja.
Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, lalu telunjuknya menuding ke arah muka Sie Liong.
“Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah kehendak Thian bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, sekarang engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!”
Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Thian saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.
“Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapa pun juga di sini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapa pun, dan hanya akan membela diri kalau aku diserang.”
“Sombong! Sambutlah serangan tombakku ini!”
Thay Bo Lama segera menggerakkan tombaknya. Terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Pada saat menyerang dengan tusukan, tombak itu meluncur bagaikan anak panah saja, menusuk ke arah dada Sie Liong!
Melihat gerakan Lama ini, Sie Liong dapat menduga bahwa lawannya yang kurus kering bagaikan cecak mati kering itu agaknya mempunyai tenaga yang sangat besar. Untuk meyakinkan dugaannya, dia pun segera mengerahkan tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.
“Traanggg...!”
Dugaan Sie Liong memang tepat. Walau pun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan.
Untung bahwa dia sudah menduga hal itu sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena dia pun sudah mengerahkan tenaganya pada waktu menyambut dengan tangkisan tadi.
Di lain pihak, Thay Bo Lama terkejut bukan main. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya, dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental, apa lagi patah. Bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah-olah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!
“Bagus! Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Siansu dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan pinceng!” bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
“Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!” jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.
“Hyeeeehhhh... haittt...!”
Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan keras, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan pada kedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.
“Wuuuuuuutt... singgggg...!”
Ketika dielakkan, senjata itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi yang selain mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan berdesing.
Akan tetapi, tanpa terlalu sulit Sie Liong selalu dapat menghindarkan diri, menggunakan gerakan dua kakinya yang amat lincah untuk membuat tubuhnya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak. Kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!
Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, apa bila terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya!
Jalan lari sudah tidak mungkin lagi sebab dia telah terperosok ke dalam sarang mereka. Tetapi bagaimana pun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung pada bagian yang menekan dan menyerang.
Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat di tangan lawannya seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian lagi menyerangnya seperti gelombang lautan yang menyerbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan!
Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Sebagai jalan terakhir, dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu.
“Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!”
Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Siansu, maka tentu saja dirinya sudah ‘berisi’ dan segala macam kekuatan sihir tak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, akan tetapi cepat Sie Liong mengerahkan sinkang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya.
Thay Bo Lama mengeluarkan seruan kaget pada saat dua kakinya mendadak menjadi lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi, dia pun sudah jatuh berlutut! Ternyata jeritannya yang mengandung perintah tadi langsung disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.
“Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!” kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap ke samping.
Sikap Sie Liong wajar dan sedikit pun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, dia pun bangkit berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.
“Hyaaattttt… ahhhh...!”
Tiba-tiba Thay Hok Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang amat ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah kepala Sie Liong.
Semenjak dahulu Pendekar Bongkok sudah mengenal akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini. Maka, melihat rantai menyambar ganas, dia pun merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas kepalanya, kemudian dia pun melangkah maju mendekat.
Rantai itu panjangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan.
Akan tetapi, Thay Hok Lama sudah cepat menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis menyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun.
Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga terkenal mempunyai pukulan beracun, juga pandai mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.
Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu sekarang memegang rantai di bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya!
Dua batang rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan dengan membalas serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari guntingan sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut ke arah kepalanya dari belakang.
Cepat Sie Liong merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut orang yang menyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang telah menyerangnya secara curang sekali.
Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, malah kini berbalik diancam tongkat yang menusuk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan dia pun terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka.
Pada saat itu, Thay Hok Lama sudah pula menyerang dengan rantai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat di tangan pemuda itu terlepas.
Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia pun membalas, menarik dan akibatnya, tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama melepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.
Melihat betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang sute-nya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun ke gelanggang dan mereka pun sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan.
Thay Ku Lama yang bermuka codet dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang bermuka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang silam ketika dia masih kecil. Pada saat itu, dia pun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suheng-nya, yaitu Himalaya Sam Lojin.
Mereka adalah gurunya sebab dia menerima gemblengan silat pertama kali dari mereka bertiga. Akan tetapi mereka pun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Siansu yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin.
Masih terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Siansu dan juga sute dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh sehingga Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan dan diusir.
Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia sudah menerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Siansu dan dia tidak merasa gentar sedikit pun juga.
“Hemm, aku datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi. Ternyata sekarang Tibet Ngo-houw bahkan juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah ini pun termasuk perintah dari Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!” Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka dia pun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka saat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula!
Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan mereka, yaitu Kim Sim Lama, yang tentunya maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meski pun masih amat muda dan bongkok pula.
Betapa pun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan atas isyarat Thay Ku Lama, orang pertama di antara mereka.
Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok pemuda itu! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan. Thay Ku Lama menempatkan dirinya di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri paling ujung sebagai ekor.
Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau ‘tin’ ini amat mirip dengan gerakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima sambil bergandengan tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan tendangan-tendangan saja.
Menghadapi lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik bukan main.
Oleh karena itu, dia pun menduga bahwa mereka tentu akan menggunakan suatu cara penyerangan yang istimewa. Melihat cara mereka bergandengan tangan, dia pun dapat menduga bahwa ini tentulah semacam tin (barisan) dan cara bergandengan tangan itu menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sinkang mereka.
Ini berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi kekuatan sinkang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau tenaga sinkang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali, terutama kalau hendak mengadu tangan!
“Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!” teriak Thay Ku Lama.
Barisan lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan bagaikan ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat kelima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja.
Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggapnya demikian. Dia tetap waspada, tetap melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pendengaran telinganya, tidak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu.
Pada waktu lima orang itu bergerak mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lehernya saja yang bergerak perlahan mengikuti mereka. Setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, dia pun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tidak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari makin cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah. Mereka masih mengitari Sie Liong, akan tetapi sekarang berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Perubahan arah gerakan semacam ini dilakukan lagi beberapa kali.
Kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tetap tenang saja, Thay Si Lama lalu melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandengan dengan tangan Thay Pek Lama, maka kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt...!”
Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Pada waktu pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini ‘ekornya’, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong!
Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia pun cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt...!”
Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan itu menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Liong makin yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu sedang menyatukan tenaga sinkang sehingga dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sinkang yang amat hebat.
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu pula, Siang-thouw Coa-tin sudah bergerak lagi, dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sinkang amat kuat. Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama.
Namun Sie Liong sudah cepat-cepat menggunakan langkah-langkah ajaib yang dahulu pernah dilatihnya dari Pek Sim Siansu. Langkah-langkah yang menjadi dasar Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja. Biar pun dia terdesak hebat, akan tetapi sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya dia pun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya. Justru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan.
Dan dia pun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sinkang yang disatukan, tidak mampu banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki. Akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, sebab dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tidak banyak artinya bagi Sie Liong.
Dan pemuda yang cerdik ini pun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa pada bagian ‘tubuh’ atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt...!”
Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu.
Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak sekitar dua meter. Tentu saja dia tak berani menyambut secara langsung, maklum betapa hebat tenaga sinkang yang mendorong pukulan itu.
Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia pun berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sinkang yang lemas, tak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sinkangnya jelas kalah jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu.
“Desss...!”
Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sinkang yang menyambar bagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan saling bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main.
Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan dia pun terlempar! Namun, dia telah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini hingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan.
Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka. Mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggok seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya melambat, dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya nampak menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu sangat terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka.
Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya dapat membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama pada saat melihat betapa tiga orang sute-nya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Mereka pun segera bergerak, ada yang mengelak dan ada juga yang menangkis. Namun, gerakan mereka melepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit.
Akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundaknya tertotok ujung tongkat. Thay Hok Lama juga terpelanting akibat kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya. Sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dada kirinya kena didorong tangan kanan Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri.
Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat untuk menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat mau pun tangan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimana pun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah.
Tiga orang pendeta Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga. Mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura. “Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, mengapa kalian malah mengeluarkan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?” Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sute-nya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.
Mendengar ini, mendadak saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok itu ke belakang. Dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan dia pun mengeluarkan suara tawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan bergemuruh bagai gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang dengan kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya, bahkan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya!
Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya. Betapa akan senangnya jika dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha!” Sie Liong menghentikan tawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, kemudian menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan.
“Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatang kara yang tidak memiliki apa-apa, tubuh pun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik dari pada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, mati pun tidak apa-apa! Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini walau pun berpakaian pendeta, tapi selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang.
Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa sangat malu dan penasaran, tidak mempedulikan semua itu. Atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah kembali bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan.
Sie Liong berada di tengah-tengah dan dia pun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan semacam ini, maka akan rugilah dia apa bila hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan dirinya dari kepungan, dan sukar pula untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, dia pun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu