KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-32


Pada saat dia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba dia melihat bayangannya sendiri pada permukaan air. Hampir saja dia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya!
Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main!
Tidak, Sie Liong tak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...,” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air.
Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong.
Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biar pun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis bagaikan tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudara yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Karena dia hanya membayangkan pertemuannya yang sangat membahagiakan dengan Sie Liong, dalam kegembiraannya Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaan. Dia tidak tahu betapa tidak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalaman suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
Ketika mereka lewat dekat goa kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya langsung berdiri bengong, terpukau bagaikan sudah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis... gila itu...!” bisik seorang di antara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ahh, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu... hemmm...!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah goanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam goanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu.
Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walau pun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeber pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi ‘kegilaannya’.
Ling Ling terbelalak dan terpekik ketika tiba-tiba tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki goanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukan penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang senang melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.
Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, gembel gila menjijikkan yang biasanya mereka hindari, sekarang ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang luar biasa indah dan menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebut menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbangan pun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang agar melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila! Jangan ganggu aku!” Ling Ling berteriak-teriak.
Akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Akan tetapi, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu birahi mereka menjadi semakin berkobar. Mereka tidak peduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapa pun dengan nekatnya Ling Ling meronta, tetapi apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa bagi tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan...” Lepaskan aku... Aku orang gila, aku jelek... aahhh... toloooooong...!”
Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai goa dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam goa.
“Aduuuhh...!”
“Auhhh...!”
“Heiii, aduhh...!”
Semua terjadi demikian cepatnya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan mereka pun seperti terseret keluar dari dalam goa sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila... Jangan ganggu aku,.... aku jelek dan gila...!”
Ling Ling cepat meraih tanah dari sudut goa dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya. Bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding goa yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya. Dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam goa dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam goa, lalu terus diseret sampai jauh dari goa.
Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok. Orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Setelah sadar bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong.
Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat. Ketika dia memasuki goa kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu terpaksa melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam goa.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan.
Tanpa banyak cakap lagi, ketiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu dilakukan penuh kemarahan.
“Ehhh...?”
Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itu pun terjengkang, terbanting keras!
“Hemmm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher, membuat mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami..., taihiap, jangan bunuh kami...!” Mereka berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu sebab dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami... kami bukan penjahat... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan...”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!”
Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke goa kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu... aku jelek... aku gila... aku kotor, he-he-heh... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...” Terdengar suara wanita itu dalam goa itu.
Sie Liong cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari goa dan alisnya berkerut. Seorang wanita gembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi!
Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah birahinya melihat wanita gembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila... ha-ha... jangan ganggu aku... ahhh, jangan ganggu aku...!”
Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, barulah ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan!
Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu dari tempat pengintaiannya Sie Liong tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang gembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, lalu menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Ia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya pada saat wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-hu-huu... Liong-ko... ahhh, Liong-koko... uhu-hu-hu... kenapa engkau begitu tega... Liong-ko... uhu-huuu... kalau ada engkau, tentu tidak ada... yang berani mengangguku... aihh, Liong-koko... di mana engkau...?”
Sie Liong merasa kepalanya laksana disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur cepat ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, dan diangkatnya mukanya, lalu tangannya yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu.
Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi...! Ling Ling... ahhh, Ling Ling... mengapa engkau jadi begini...?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali. Diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko...? Engkau... engkau...” matanya lalu memandang lengan kiri yang buntung. “…engkau Liong-koko...?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong...”
“Liong-koko...!” Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan akhirnya terkulai, roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ahhh, Ling-moi... kau maafkan aku, Ling-moi...!” Sie Liong merangkul serta mencium pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu.
Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya.
Agaknya, dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Karena sebenarnya gadis itu tidak terluka apa pun, hanya pingsan akibat batinnya terguncang hebat, maka dalam waktu singkat dia sudah siuman kembali.
Begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, Ling Ling sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana engkau...?” Dan ia pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping. “Aku di sini, Ling Ling...”
Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko... engkau benar Liong-koku...!”
Ia merangkul dan menangis sesunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan dia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.
“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ahh, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...”
Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-koko... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi...? Engkau... lengan kirimu... buntung...?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan lengan kiri, akan tetapi sebagai gantinya dia pun mendapatkan ilmu yang sangat hebat, sehingga sekarang dia mempunyai tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh pada saat melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tetapi Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko... ahhh, Liong-koko, kasihan sekali engkau...” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu.
Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang sudah tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah-olah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan perasaan terharu. “Ling-moi, mengapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya pria yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja... kalau... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling... ahh, Ling Ling…”
Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang mata gadis itu, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.
“Ling Ling, aku pun cinta padamu. Aku... aku ingin memperisterimu...”
“Liong-koko…! Alangkah bahagianya hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, juga bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia pun bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, serta tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tidak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biar pun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalam kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lhasa, sambil bercakap-cakap, Ling Ling lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa harus menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, persis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu-sipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi sepi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki goa. Agaknya, ketika mandi itu, mereka sudah melihatku, dan ketika aku memasuki goa, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku...”
“Ahh, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran-heran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walau pun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana dia pergi. Dan sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan... ihhh, pakaiannya seperti ini...”
Sie Liong tersenyum. “Kami tak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, dan ke dua kalinya, sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko…! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau... hendak menitipkan aku... hendak meninggalkan aku lagi?” suara itu sudah mengandung isak, sedang wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Harap engkau carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, bila urusanku telah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan buat tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberi uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Karena itulah aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itu terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu aku sudah kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diriku, Ling Ling. Andai kata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan jika hal itu memang harus terjadi, engkau atau aku atau siapa pun juga tidak akan mampu mencegahnya.”
“Biar pun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus mati pun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apa?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci... celaka, cici... bibi Cici... bibi... Cili...”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta kemudian dilarikan keluar kota...”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu para anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili...,” katanya.
Sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, pendekar itu tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar!
Ia tadi telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka semua yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh.
Ling Ling hendak menjerit, akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, dia pun roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang lantas membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali…..
********************
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tidak lama kemudian, tepat seperti diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul. Sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biar pun dia hanya memiliki sebuah tangan saja, akan tetapi tangan yang mengandung tenaga sangat dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu segera melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya lalu berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak...!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi.
Sie Liong tidak mempedulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Di dalam kereta Bibi Cili duduk ketakutan sambil menangis. Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia sudah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap oleh sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dia membaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama

Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!”
Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi makin ketakutan…..
********************
“Omitohud... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan.” Dalai Lama bicara dengan nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama Sie Lan Hong.
Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai Yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali.
Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah. Tetapi sesudah mendengar laporan dari Lie Bouw Tek mengenai perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja hendak melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar pula betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalai Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek merasa kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan itu, oleh karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari dua puluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Kong Ka Lama sendiri, memimpin kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang mereka, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, tetapi mengambil jalan lain supaya dapat melakukan pengepungan…..
********************
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya sedang membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai Yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar Bongkok.
Para penyelidik ini sempat melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita gembel gila dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka lalu melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai Yang Suhu pula!
Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai Yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia menduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan terhadap pembantunya itu dan membawa lari mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, pada waktu dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia menjadi terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
“Ahhh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet Ngo-houw yang juga merupakan seorang ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa tetap hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari? Ini tentu ada orang yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!”
“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Dia pun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main terkejut dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu. Tentu Sie Liong tidak akan tinggal diam saja dan pasti akan membalas dendam. Pendekar Bongkok itu harus didahului!
“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan kiranya saya tahu bagaimana caranya!” kata Coa Bong Gan.
Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa amat menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok adalah orang yang telah membunuh ayah kandungnya.
“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.
“Dia harus dipaksa datang ke sini. Saya akan memancingnya agar dia keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!”
Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau buntungi, betapa pun lihainya, dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu.
Dan tepat seperti yang sudah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang lantas dipergunakan oleh Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil dia meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak sia-sia semua usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau memang pengkhianat! Apa yang telah kau lakukan saat engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama tersenyum, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud... pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang sudah menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!”
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Ha-ha-ha, tak perlu kalian repot-repot. Sekarang pun pinceng akan pergi meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.”
Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksa kakek itu, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Pada waktu Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi amat girang.
“Ahh, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukanlah gembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biarlah kami serahkan gadis ini dalam pengawasanmu. Jangan sampai dia dapat meloloskan diri sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan alis berkerut, namun tidak peduli. Kini ia tidak peduli apa-apa lagi, juga tidak peduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam ilmu sihir.
Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dapat dikuasai dengan ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba.
Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini.
Akan tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Bagaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga kelihaiannya tentu saja berkurang banyak!
Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimana pun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itu pun tibalah. Kemunculan Pendekar Bongkok benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan sejak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga digunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu