KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-06


Bagaimana pun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya. Apa lagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini sebab dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba muncul angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Sie Liong hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan.
Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain.
Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering bagai tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang lengkap dan amat terkenal, yang belakangan mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lantas menggeser duduk mereka. Sekarang mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu dengan sikap yang tenang sekali.
Sie Liong membuka matanya lebar-lebar. Hatinya merasa tegang, akan tetapi dia pun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu telah duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya tadi memberi isyarat melalui gerakan tangan dan tubuh.
Mereka berlima tidak berani memandang rendah pada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati sekali.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Bila Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap siagaan untuk berkelahi.
Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
“Sam Lojin, sekali lagi kami menegaskan bahwa pimpinan kami, yaitu yang mulia Dalai Lama, memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.
“Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”
“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berbicara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biar pun kata-katanya halus dan sopan, akan tetapi mengandung ejekan.
“Maafkan kami. Kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai...! Terserah pada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.
Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah. Kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti sudah pulas dalam semedhi.
Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa amat mendongkol kepada lima orang pendeta Lama itu. Biar pun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.
Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang membuat hatinya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, kemudian menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu.
Dia melihat betapa tubuh kelima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan masih dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu terus naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru.
Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari semedhi!
Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri kemudian dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang sangat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kecoa-kecoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itu pun mampu mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu bila dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andai kata kalian pandai terbang sekali pun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena walau pun dia mendongkol dan tidak suka terhadap lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, namun orang lain yang hanya ‘meminjam’ mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demikian terkejut, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh mereka pun meluncur turun.
Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit. Mata mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah-olah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang. Ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai itu, kemarahan mereka pun memuncak dan untuk sementara mereka tidak mempedulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin, melainkan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai sudah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”
“Siancai...” Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju dan menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai.
Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangannya di dada dan berkata dengan penuh hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami jika kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”
Kini Thian Hwat Tosu kembali menghadapi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi losuhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkan saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi losuhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kami pun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, tapi mengkhawatirkan bila terjadi kesalah pahaman. Oleh karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan dia pun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maksudkan. Kami pun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa telah memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri urusan kami yang tak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga terkandung pandangannya yang congkak.
“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”
“Omitohud...! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kami pun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai demikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”
Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suaranya yang keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapa pun juga akan kami hadapi!”
“Omitohud...!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah serentak berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,
“Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suheng-nya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju bersama, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suheng-nya sekali pun.
Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apa lagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).
Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang luar biasa kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sute-nya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang. Di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan amat rapi.
“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang berniat untuk memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya telah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.
Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek. Dengan berjajar mereka pun melangkah maju menghadapi lima belas orang itu.
Setelah mereka saling berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka pun sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka sudah berlatih sampai matang.
Melihat ini, lima orang pandeta Lama itu pun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri. Mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat pula mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu, yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, kalau melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi.
Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin. Begitu pimpinan mereka memberi aba-aba, maka lima belas orang itu langsung bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!
Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan bagai kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal amat hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat pula oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!
Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing.
Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya dia sembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.
Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian kemudian diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Serangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai terhadap lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima sama sekali tak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis.
Terdengar bunyi nyaring berdenting-denting, kemudian disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pendeta Lama. Karena memang tenaga sinkang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu langsung terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!
Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang beberapa kali, akan tetapi selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang, bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.
Kesempatan ini digunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya dan golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat.
Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama juga memutar sepasang pedangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang.
Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya sehingga senjata istimewa ini segera menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya sehingga terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini ternyata memiliki tenaga raksasa.
Biar pun cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dapat pula dihindari oleh lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak bahwa pertempuran ini tidak seimbang sama sekali.
Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini lantas mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa mereka pun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang disertai terdengarnya suara bentakan nyaring.
“Tahan senjata!”
Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka mereka pun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan sekarang mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu ilmu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud...! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Baru mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, dan kini bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute, harap tenangkan hatimu!” Thian Hwat Tosu menegur sute-nya, kemudian ketua Kun-lun-pai ini melangkah ke depan dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. “Siancai... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami yang tadi lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan pada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak terus berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi lagi.”
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, di samping janji.
“Omitohud... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau ternyata kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau di antara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, engkau temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum lalu melangkah maju mendampingi suheng-nya, yaitu Thay Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah semenjak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
“Ha-ha-ha!” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat bahwa wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meledakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan tetapi, sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, sekarang sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dengan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan para orang gagah yang tak pernah mencampuri mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Kun-lun-pai. Jika sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Oleh karena itulah kami bertiga minta supaya Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.”
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dengan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama.
Jika sekarang pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya kelima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!
Dan sebaliknya andai kata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri!
Bermusuhan dengan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dengan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama sangat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dengan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
“Siancai...!” berkata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang bijaksana sekali. Kami akan menjadi orang-orang yang tak mengenal budi bila tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah.
Meski pun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suheng-nya. Dia pun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, dan membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu benteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi jauh lebih ringan, tak perlu menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kami pun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, dengan menyadarkan ketua Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kami pun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dengan kami, sebagai tamu undangan untuk kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, “Siancai...! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”
Wajah Thay Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sesungguhnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti seekor katak besar!
“Hmm, apakah yang memaksa kalian menolak undangan kami yang telah kami lakukan dengan merendahkan diri?” tanyanya dengan suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan Dalai Lama, sehingga andai kata beliau yang mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimana pun juga, kami bukanlah anggotanya mau pun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undangan itu.”
“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. “Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!”
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
“Siancai... memang sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”
“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama.
Dia sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biar pun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai menggunakan segala macam senjata, namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apa lagi membawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian saja pun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.
Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, mau pun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tak pernah berkelahi, tak pernah menggunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Selama ini bahkan mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada ‘sumbernya’, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.
Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walau pun andai kata ada nafsu itu pun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itu pun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi yang mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sinkang mereka amat kuat dan di samping itu, mereka pun pandai ilmu sihir.
Thay Ku Lama mempunyai pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut. Pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat dan mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.
Ada pun orang ke dua, Thay Si Lama, di samping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki ginkang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.
Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain permainan senjata rantai bajanya berbahaya sekali, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biar pun kurus kering, akan tetapi tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya.
Dan yang lebih dari pada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya jika dibuat perbandingan, tingkat kepandaian mereka masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andai kata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorang pun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi, kini mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok. Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan.
Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang sangat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini semenjak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.
Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk bisa mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih serta lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, dia pun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak.
Akan tetapi satu hal yang dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih, walau pun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau ketiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Meski tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, akan tetapi dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak.
Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, sangatlah hebat. Menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu, dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari salah seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang berkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia pun terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri, karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan dia pun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling akibat tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!
Dia membelalakkan matanya agar bisa memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.
Ketika menengadah, Sie Liong melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Rambutnya riap-riapan berwarna putih, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali.
Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka dia pun lalu duduk saja bersila, tidak mempedulikan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh...!” Kakek itu terkekeh geli.
Tongkat bututnya lalu bergerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong. Lalu nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih.
“Engkau tinggal saja di dalam ruangan ini. Siapa pun tak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya ia baru bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan dia pun tidak menjawab, hanya membuka mata menonton pertempuran yang masih berjalan terus.
Agaknya kakek gembel itu pun sekarang tidak mempedulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba saja Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah. Akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong pun basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludah pun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan walau pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan dia pun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali pula kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar pun dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apa lagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang telah terjadi perubahan pada pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga dalam menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang menggunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.
Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang sudah kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih itu terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!
Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan mendadak seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang ‘melanggar’ lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itu pun tordorong keluar!
Pada saat para anggota Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu terus berlompatan. Agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!
Tidak demikian dengan para pendeta Lama. Pada suatu ketika, ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama.
Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksasa itu memasuki lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itu pun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia pun terdorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong.
Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu