KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-13
“Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan
anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian
dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi,
dia menggangguku! Untung muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa
perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka
dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia
jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”
“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya.
Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.”
Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.
“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie Liong.
Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?”
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.
“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja.
Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya berubah...!”
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”
“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.
Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali.
Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
********************
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar suara seorang pria menegurnya.
“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah lihat!”
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!
Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.
“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?
Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah membunuh suamimu?”
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari terang!
Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya.
Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
“Kalian salah sangka...!” katanya.
Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.
Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...”
“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”
“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.
Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”
Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh kekhawatiran.
“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.
“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!
“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong.
Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian.
Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.....
********************
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”
“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya.
Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.”
Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.
“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie Liong.
Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?”
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.
“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja.
Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya berubah...!”
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”
“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.
Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali.
Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
********************
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar suara seorang pria menegurnya.
“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah lihat!”
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!
Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.
“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?
Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah membunuh suamimu?”
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari terang!
Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya.
Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
“Kalian salah sangka...!” katanya.
Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.
Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...”
“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”
“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.
Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”
Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh kekhawatiran.
“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.
“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!
“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong.
Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian.
Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.....
********************
Komentar
Posting Komentar