KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-14


Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah dan amat menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya ramping dan pinggulnya besar, langkahnya bagaikan seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan lehernya nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihat wanita ini memandang hingga melotot. Bahkan ada yang seolah matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar. Ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok.
Pendeknya, jarang ada pria yang mau melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, sudah memasang senyum menyeringai, ada pula yang berdehem, juga ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasyikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan merasa bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Oleh karena itu ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut akan tetapi tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan kiranya tak mungkin, sebab melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta?
Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau dia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik untuk dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi. Seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu tidak akan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman!
Setelah hari mulai gelap, hampir tak ada orang berani memasuki tempat itu. Jangankan memasuki kuil itu, bahkan masuk ke halamannya pun jarang ada yang berani. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, sering kali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, kemudian membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian lagi masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu?
Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, yang mereka bayangi itu sudah pasti siluman! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil, tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil.
Dari atas itu, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, dia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting kembali ke dalam kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
“Hi-hik-hik,” dia tertawa lirih dan berbisik-bisik, “biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman... hi-hik-hik, siluman asli...!”
Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Kalau saat itu ada orang lain yang mengikuti wanita ini masuk, ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu!
Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal.
Di kamar itu terdapat pula lima buah kursi serta sebuah meja, dan di atas meja itu ada guci arak lengkap dengan cawannya, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering!
Sebuah kamar yang amat menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah keberadaan tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh hingga dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus. Mereka segera menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah birahi, dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Pada waktu wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, lalu ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu. Ia tertawa cekikikan, lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan.
Ketiga pemuda yang sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi, setelah bermain-main dengan mereka, berenang dalam lautan kemesraan hingga lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan!
Tujuh tahun yang lalu, ketika berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panas dan nafsu birahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad.
Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biar pun baru berusia tiga belas tahun akan tetapi sudah cukup besar, ia lalu merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, mengetahui hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apa pun!
Maka, bagi Pek Lan tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya. Dia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu birahinya semakin menjadi-jadi!
Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas. Kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subo-nya.
Subo-nya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Co-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan. Selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka mulai kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka.
Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlomba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, sangat mudah bagi Pek Lan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang amat hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subo-nya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya!
Ketika dia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalanan. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah pada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu.
Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati tiga pemuda itu dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah merasa bosan, barulah ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila pada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
“Sudahlah, malam ini aku tak bisa main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus sudah bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...” Ia tertawa cekikikan seperti siluman.
Tiga orang pemuda itu pun ikut tertawa gembira. Mereka tidak peduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, kemudian sekali berkelebat ia pun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangannya telah berada di atas genteng gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu.
Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman ia berhenti, kemudian memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini tidak banyak perubahan, nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya.
Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara dia membalas dendam, dan kini dia tersenyum sendiri.
Senyum itu membuka sepasang bibir yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong. Wajah yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah seorang siluman tulen!
Dia masih ingat di mana adanya kamar-kamar para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam kamar. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling.
Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak saat melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
“Apa... siapa kau...?” tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. “Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...”
“Pek Lan...! Kau... Pek Lan...?” selir itu berseru kaget.
Akan tetapi, pada saat itu Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali.
Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak digunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Akan tetapi, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu, kemudian melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan.
Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi dia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak peduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu supaya jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Ia pun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tak peduli, dan seperti yang dilakukan pada para selir tadi, ia pun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga.
Isteri salah seorang di antara tiga pelayan pria itu pun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik mau pun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan pria itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka tergeletak tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berteriak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu tumpang tindih di atas pembaringan dalam keadaan tanpa pakaian, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak sungguh menyeramkan, menyeringai laksana iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan.
Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu untuk membuat gaduh. Sebentar saja semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendengar suara kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka segera memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
“Pondok Merah kebakaran!” demikian teriakan mereka.
Semua orang lalu berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali!
Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tidak tahu malu sekali sudah mengadakan perjinahan dengan tiga orang pelayan pria. Agaknya mereka demikian asyik sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan wajah ketakutan, Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu hanya pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tetap tidak peduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya boleh membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah memiliki anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya berani menyeleweng dengan para pelayan, melainkan akibat nama baiknya tercemar karena seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang memalukan sekali itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya sebab ia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu sedang rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
“Kau... kau... Pek Lan?” Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut.
Biar pun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik dari pada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis!
“Aihh, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!”
“Tentu saja aku masih ingat!” Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. “Siang malam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak.
“Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Dulu aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjinah, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!”
Hartawan Coa menghela napas panjang. “Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan... engkau begini cantik jelita... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis dari pada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, tapi akan kuangkat menjadi isteri yang sah!”
Kembali tangan hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengan yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu birahi. Akan tetapi ketika dia mulai hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur.
Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu kini demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
“Pek Lan...!”
“Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!”
“Pek Lan...!”
“Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Dahulu engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal sedikit pun. Padahal aku telah menyerahkan diri padamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang mainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua harta milikmu yang kau simpan di dalam almari tebal ini!” Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut.
Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi sangat terkejut dan lenyaplah sudah nafsu birahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
“Pek Lan, apa yang kau lakukan itu?!” bentaknya marah.
Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Dia pun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tangan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
“Plakk! Dukk!”
Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.
“Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!” kata Pek Lan. “Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!”
Sekarang hartawan itu ketakutan dan dia berlari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak mempedulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walau pun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
“Tolong...! Perampok..., pembunuh...!” Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit.
Pek Lan tidak peduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe.
Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
“Maaf, loya, di mana perampoknya?”
“Mana ada pembunuh?”
Coa-wangwe menuding ke arah Pek Lan. “Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia sudah memukulku!” Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
“Bukankah... bukankah engkau nona Pek Lan...?”
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. “Hemm, engkau masih mengenaliku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!”
Coa-wangwe menjadi marah. “Untuk apa kau bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!”
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
“Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tak perlu kami mempergunakan kekerasan,” kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang sekali jika harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biar pun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong itu dan dengan kain sutera yang telah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, kemudian ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
“Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!”
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja sama sekali tidak menakutkan!
Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu. Maka mereka pun menyerbu dan seperti hendak berebut saling mendahului, mereka serentak menerkam Pek Lan.
Wanita ini tersenyum. Tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan kelima orang penjaga itu pun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak bisa dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasakan dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat tubuh mereka terjengkang.
Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
“Tangkap dia! Bunuh!” Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan.
Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Hanya dalam segebrakan mereka sudah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. “Apa bila kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!”
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah. Dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, biar mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan keras, mereka pun maju menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya.
Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan dia pun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan! Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka.
Akan tetapi Pek Lan cepat menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya. Terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai.
Pek Lan memandang pada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya hanya dengan tendangan dan dirampas goloknya. Dia pun tersenyum.
“Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi goloknya bergerak dan orang itu pun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapa pun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
“Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!”
Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan dua tangan. Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang di dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa.
Bukan hanya orang suka sekali membicarakan mala petaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, tapi yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras.
Tidak seorang pun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan itu, ternyata juga tewas di tangan Pek Lan, bahkan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang sangat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biar pun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit.
Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya…..
********************
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bekerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat. Pinggangnya ramping, pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biar pun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus.
Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan cangkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan.
Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan dua tangannya bergerak dengan cekatan. Bentuk tubuhnya indah pada waktu membungkuk, dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga ia pun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa sungguh tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indahnya sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu.
Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luas, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya nampak di kejauhan beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu.
Hawa udara sangat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada enci-nya, pertemuannya dengan enci-nya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu!
Bahkan enci-nya sendiri pun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suheng-nya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiri pun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada enci-nya, Sie Lan Hong.
“Enci Hong, sungguh kasihan engkau...” Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hati.
Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan enci-nya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka enci-nya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi untuk menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, enci-nya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan dia pun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh apa bila enci-nya menuduh dia yang sudah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apa lagi di sana masih ada Bi Sian yang dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudian topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang telah membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya untuk menjatuhkan fitnah padanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali... cihu-nya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui enci-nya, Sie Lan Hong, enci-nya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang sudah membunuh ayah dan ibunya.
Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, dia pun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan dia pun tahu bahwa kini Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.
Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka dia pun cepat melarikan diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian amat menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira.
Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan mengenai Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Siansu, supek yang juga menjadi gurunya sendiri.
Dia harus mampu menunaikan kewajiban ini dengan berhasil. Dia juga harus mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.
Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tiada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah memiliki suami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ahh, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya!
Sie Liong merasa heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan sesungguhnya berada di dalam diri siapa saja. Setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apa bila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain.
Apa bila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apa bila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan nampak bahwa hidup ini sebetulnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Bahkan bernapas pun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain.
Duduk melamun di bawah pohon itu pun mengandung kenikmatan tersendiri, seperti yang sedang dirasakan oleh Sie Liong!
“Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...” Sie Liong berbisik.
Wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan enci-nya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia pun lupa akan bongkoknya!
Semua begitu indah apa bila pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku’.
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani. Melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka, jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw yang tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu, kecuali wanita yang tadi membangkitkan rasa kekaguman di hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi ia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, ia memang agak tersembunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun ia memandang penuh perhatian. Kini tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih terus bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pemandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!”
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori pakaian wanita itu yang agaknya baru sadar dan ia pun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci yang sering ditangkapnya. Liar ketakutan!
“Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali! Perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!” Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
“Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Marilah engkau ikut saja dengan kami, ha-ha-ha!”
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggelengkan kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
“Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!”
Enam orang lainnya yang menunggu di pinggir jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang sekali melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Sekarang Si brewok membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?” Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. “Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati dari pada melayani kami dengan manis?”
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tak mampu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
“Ampunkan saya... saya sudah bersuami..., ampunkan saya...”
“Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!” Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Tidak... tidak... tidak!” Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. “Turun dan seret ia ke mari!”
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu