KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-17
Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam
selimut, Bong Sianjin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi
pembaringan, pura-pura bersemedhi sambil menanti datangnya malam. Hari
telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti
datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia
timpakan kepada siluman merah! Ia pun telah siap dengan pedang kayu yang
sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk
darah anjing di dalam sebuah botol.
Malam pun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu suasana remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu.
Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.
Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu. Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu birahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya’.
Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
“Kalian takut?”
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.
“Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.
Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan tetapi mereka pun merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sianjin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sianjin tersenyum.
“Heh-heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.
Nafsu birahi sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.
Bong Sianjin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’ yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.
Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia kemudian menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.
“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Akan tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.
Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam siluman, setan dan hantu.
Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!”
Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!
Dukun Bong terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!
“Kau... kau... bukan siluman...!” serunya.
Akan tetapi, pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.
Siluman merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan.
Gumo Cali memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.
Daun pintu itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak mereka pun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya. Hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.
Apakah orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!
Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang tadi malam terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong telah terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, suasana dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.
Tanpa dia sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingen Tangla sebelah utara Tibet.
Menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan dapat memulai dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika Sie Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang langsung mengepungnya dengan senjata di tangan.
“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”
Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
“Heiii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya.
Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.
“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.
Akan tetapi, ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah sebangsa siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia sudah maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.
Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!
Melihat serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apa lagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke atas dan membentak dengan suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!
“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”
Mendengar ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.
“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”
Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan membunuh orang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.
Timbul harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, dia pun segera berteriak memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”
“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biar pun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.
“Hemmm, kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi dia pun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah. Dia lalu melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.
“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini!”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”
“Taihiap, marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana patutnya.
“Itu adalah Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.
Mendengar sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”
“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang anak gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...”
Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikatkan di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah terjadi tadi malam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.
Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sianjin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malu-malu menangis di depan Sie Liong.
Pemuda ini mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”
“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”
Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap diculiknya.”
“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang sombong. Aku segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya terulang kembali. Mudah-mudahan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya.
Diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu di dalam kamar tanpa disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.
Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.
Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan.
Dari atas genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.
“Bukit apa yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ahh, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap, bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...”
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja.”
“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, dan sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap sebagai sarapan pagi.”
Sie Liong merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Ia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak pucat.
“Taihiap... taihiap... dia... dia datang...”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...”
“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski dia berani membayar berapa banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak setujuannya.
“Cara itu tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia... dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”
Sie Liong menggelengkan kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...”
“Tenangkan saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”
Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya sendiri supaya aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”
Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi tahu kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap supaya penduduk suka membantunya.
Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah terhadap siluman merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang’ ke atas genteng…..
********************
Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar dari rumah mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, hendak menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain.
Pada waktu pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendengar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang pernah didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.
Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan kemudian dia pun menjadi takut
. Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget.
Ketika malam semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah, dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu. Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, dia pun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.
Dalam persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau diperlukan, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya suara jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap.
Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding. Matanya berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.
“Krekkk...!”
Terdengar sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.
“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”
Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah terulur mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan walau pun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun telah mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan oleh lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!”
Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya dan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh...!”
Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.
Sengaja Sie Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka memegang senjata.
Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar sambil memegang payungnya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera menangkis dengan payungnya.
Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka dia pun sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
“Trangg!”
Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas sekali.
“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
“Kiranya siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya.
Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!”
Tangan kiri wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat!
Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.
Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi masih berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!
Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul.
Mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie Taihiap...!”
Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Jika saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.
Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar bagi mereka untuk membayangkan ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie Liong, si Pendekar Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena bila penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.....
Malam pun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu suasana remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu.
Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.
Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu. Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu birahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya’.
Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
“Kalian takut?”
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.
“Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.
Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan tetapi mereka pun merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sianjin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sianjin tersenyum.
“Heh-heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.
Nafsu birahi sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.
Bong Sianjin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’ yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.
Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia kemudian menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.
“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Akan tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.
Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam siluman, setan dan hantu.
Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!”
Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!
Dukun Bong terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!
“Kau... kau... bukan siluman...!” serunya.
Akan tetapi, pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.
Siluman merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan.
Gumo Cali memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.
Daun pintu itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak mereka pun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya. Hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.
Apakah orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!
Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang tadi malam terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong telah terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, suasana dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.
Tanpa dia sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingen Tangla sebelah utara Tibet.
Menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan dapat memulai dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika Sie Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang langsung mengepungnya dengan senjata di tangan.
“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”
Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
“Heiii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya.
Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.
“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.
Akan tetapi, ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah sebangsa siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia sudah maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.
Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!
Melihat serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apa lagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke atas dan membentak dengan suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!
“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”
Mendengar ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.
“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”
Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan membunuh orang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.
Timbul harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, dia pun segera berteriak memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”
“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biar pun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.
“Hemmm, kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi dia pun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah. Dia lalu melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.
“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini!”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”
“Taihiap, marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana patutnya.
“Itu adalah Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.
Mendengar sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”
“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang anak gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...”
Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikatkan di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah terjadi tadi malam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.
Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sianjin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malu-malu menangis di depan Sie Liong.
Pemuda ini mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”
“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”
Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap diculiknya.”
“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang sombong. Aku segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya terulang kembali. Mudah-mudahan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya.
Diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu di dalam kamar tanpa disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.
Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.
Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan.
Dari atas genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.
“Bukit apa yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ahh, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap, bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...”
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja.”
“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, dan sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap sebagai sarapan pagi.”
Sie Liong merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Ia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak pucat.
“Taihiap... taihiap... dia... dia datang...”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...”
“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski dia berani membayar berapa banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak setujuannya.
“Cara itu tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia... dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”
Sie Liong menggelengkan kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...”
“Tenangkan saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”
Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya sendiri supaya aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”
Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi tahu kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap supaya penduduk suka membantunya.
Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah terhadap siluman merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang’ ke atas genteng…..
********************
Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar dari rumah mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, hendak menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain.
Pada waktu pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendengar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang pernah didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.
Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan kemudian dia pun menjadi takut
. Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget.
Ketika malam semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah, dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu. Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, dia pun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.
Dalam persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau diperlukan, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya suara jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap.
Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding. Matanya berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.
“Krekkk...!”
Terdengar sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.
“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”
Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah terulur mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan walau pun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun telah mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan oleh lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!”
Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya dan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh...!”
Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.
Sengaja Sie Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka memegang senjata.
Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar sambil memegang payungnya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera menangkis dengan payungnya.
Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka dia pun sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
“Trangg!”
Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas sekali.
“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
“Kiranya siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya.
Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!”
Tangan kiri wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat!
Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.
Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi masih berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!
Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul.
Mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie Taihiap...!”
Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Jika saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.
Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar bagi mereka untuk membayangkan ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie Liong, si Pendekar Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena bila penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.....
Komentar
Posting Komentar