KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-22


Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar dari pada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?”
Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan, “Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!”
Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, kemudian raksasa itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!”
“Kami tidak memperebutkan wanita!” bentak Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!”
“Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Kala Putih. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.”
“Kami tak akan membiarkan siapa saja mengganggu wanita ini!” bentak pula Ciang Sun.
“Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baiklah, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?”
Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, “Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!”
“Konga Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah, “jika engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita, melainkan nyawa kita!”
“Kalian orang-orang muda sombong!” Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya.
Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak, “Kalau kalian berani, majulah!”
Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka mereka pun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, “Nona, engkau mundurlah!”
Lan Hong tahu diri. Ia pun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya, tentu lihai bukan main, dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya.
Maka ia pun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Dia mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apa pun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!
“Haiiiiiitt...!”
Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han menggunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan mereka pun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang bisa ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar.
Terjadilah perkelahian yang hebat. Pertarungan sekali ini lebih seru dari pada tadi ketika dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai. Permainan rantai orang itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka pun merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas sekali. Bahkan beberapa kali hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan oleh getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule itu membentak, rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun.
Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.
“Bretttt...!”
Baju itu pun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka!
Pada saat itu, Kok Han sudah maju sambil menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan dia pun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat!
Ciang Sun cepat memutar pedangnya dan menyerang untuk melindungi sute-nya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai. Sekarang mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.
“Ha-ha-ha, kalian jaga baik-baik supaya pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada anak buahnya. Dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.
Sambil menyeringai, anak buah Konga Sang mendekati Lan Hong. Dengan wajah pucat wanita ini memandang. Ia pun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itu pun ia tidak akan menang.
Oleh karena itu, ia pun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, “Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!”
Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, yaitu dua orang yang bertubuh tinggi besar, terus melangkah maju sambil menyeringai.
“Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!”
Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, namun dia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat.
Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu merupakan dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu memiringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang kedua telah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan dua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.
“Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku...!” Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
Pada saat itu, terdengar bentakan, “Kalian serigala-serigala yang jahat!”
Bentakan ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan, dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu mendadak saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah.
Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.
Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang lelaki yang tinggi besar dan gagah perkasa. Usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya warna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.
“Lie susiok (paman guru Lie)!” seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.
“Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!” kata pria gagah perkasa itu.
Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat untuk menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!
“Hemm, siapa kau?” Konga Sang membentak saat melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.
“Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, dan aku adalah murid Kun-lun-pai!”
“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”
“Tak perlu banyak cakap lagi, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”
“Manusia sombong!” Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek.
Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai itu melewati atas kepalanya, dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!
Terkejutlah Konga Sang dan dia pun terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan.
Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
“Tranggg...!”
Terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang pada saat melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu adalah pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya bagian ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walau pun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan dia pun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini.
Ternyata tenaga mereka seimbang, juga sekarang mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jeri terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya kena terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena dia pun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tersisa tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, meski pun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, Agaknya gegar otak!
Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih memiliki banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan bersama sepuluh orang anak buahnya saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih.
Karena itu, sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajaklah pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alis. Mengapa susiok mereka menyuruh mereka untuk melarikan diri? Padahal jelas bahwa susiok-nya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susiok-nya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.
Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Karena itu, sebaliknya dari pada mengejar tiga orang itu, mereka kini malah membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.
Lie Bouw Tek sebetulnya mempunyai ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jeri. Dia pun tahu akan hal ini. Dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.
Karena itu, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, dia pun meloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
“Kejar!” teriaknya.
Mereka pun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jeri menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar saat mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak bisa cepat. Apa lagi mereka terhalang oleh kegelapan malam. Akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas.
Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram. “Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”
Ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena dia pun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur…..
********************
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan merupakan tempat yang aman dan baik sekali untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh yang datang, maka dari jauh pun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut sambil berkata, “Aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolongan taihiap.”
“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, dan tak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tak akan mengejar ke sini. Andai kata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”
Demikianlah, mereka sekarang duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat.
Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, hanya terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan ia pun merasa kagum.
Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa serta gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa.
Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi pada saat mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya langsung mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.
Tanpa ia ketahui, pria di depannya itu pun sejak tadi memperhatikannya, walau pun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum.
Wanita itu sungguh jelita! Tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang putih mulus dan mulut yang membayangkan kealiman. Tapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali kenapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.
Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, akan tetapi dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan sama sekali belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang telah mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek.
Dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suheng-nya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampai bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari sedang dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelamatkan kami semua.”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya saat mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci’ (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona? Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin Nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona padaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku...”
Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan telah mempunyai seorang puteri pula! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untung baginya bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.
“Ahhh, maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu... maaf...”
Lan Hong menundukkan wajah, bukan karena sedih melainkan karena malu sehingga ucapannya lirih sekali. “Dia sudah meninggal...”
“Ah, maafkan aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek.
Ingin dia memukul kepalanya sendiri, mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri.
Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa amat heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu sekarang sudah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
“Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,” kata Lan Hong.
Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apa lagi untuk bertanya. Akan tetapi kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.
“Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”
“Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lhasa.”
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, kemudian dia berkata kepada kedua orang murid keponakannya. “Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi. Sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lhasa dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lhasa, maka biarlah aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lhasa, hal itu amat berbahaya karena Lhasa masih cukup jauh dari sini.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau enci ini ada temannya ke Lhasa. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”
“Aku mengerti. Bagaimana, toanio, apakah engkau setuju apa bila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lhasa? Kebetulan sekali aku pun hendak pergi ke sana.”
“Tentu saja, ahhh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa berbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali kepadamu, taihiap.”
“Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku pun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lhasa. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar...”
“Adikku mudah dicari. Dia... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...”
Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?”
Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Ahhh, ternyata Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!”
Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira bukan main. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?”
Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
“Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya.”
Kini Ciang Sun yang menjawab. “Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Dia masih sangat muda, akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok, sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang membuat gempar dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kami pun pernah bertemu dengan dia. Baiklah, kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.”
Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan tentang pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah.
Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh satu tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok.
Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu. Akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek In Tosu, lalu berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.
“Nanti dulu, bukankah Pek In Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.
“Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek In Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, ketika itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanyalah seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun yang bongkok, dan Pek In Tosu tortolonglah.”
“Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.
“Tidak, susiok. Pada saat itu, nampaknya dia belum pernah mempelajari silat, atau pun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan sangat cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung ilmu sihir sehingga Pek In Tosu kewalahan, anak itu kemudian menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu hingga mereka kalah oleh Pek In Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.”
“Sungguh menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek kagum.
“Ahh, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?” kata Lan Hong.
“Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek In Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu.”
“Dan bagaimana pula perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?”
“Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun dekat perbatasan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu akhirnya gagal oleh karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pendekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia kembali mengenali kami berdua. Ternyata dia kini telah menjadi seorang pendekar yang sakti!”
Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita kedua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya, memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu.”
“Ahhhh...!” Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak penuh kagum. “Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apa lagi juga menjadi murid Pek-sim Siansu! Ahh, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!”
Mendengar pujian-pujian pendekar Kun-lun-pai itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali saat mengingat akan nasib adiknya. Semenjak kecil adiknya sudah mengalami kesengsaraan. Bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!
Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali.
Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian mereka pun mengaso dengan duduk bersila…..
********************
Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka jalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit.
Lan Hong amat berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong makin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.
Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan santun terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar atau pun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan pada saat memandangnya pun, pendekar itu selalu membatasi diri.
Karena senja sudah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka lalu memilih sebuah goa di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam.
Mereka membuat api unggun di mulut goa dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap dalam goa. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk.
Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.
Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan.
Bagi Lan Hong, perasaannya yang sangat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalau pun akhirnya timbul perasaan cinta terhadap Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.
Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya.
Dan selama itu, sama sekali ia tak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandang pun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, mendadak saja, tanpa disangkanya, dia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya sangat jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.
Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita. Bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.
Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biar pun tergolong cantik akan tetapi tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Kenapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum kepada wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin untuk selama hidupnya?
“Toanio, engkau mengasolah, biarlah aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.
“Aku belum mengantuk, taihiap. Engkau mengasolah dan biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”
Lie Bouw Tek tersenyum. “Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”
“Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.”
Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinarnya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.
“Toanio, ada sedikit permintaan dariku, dan kuharap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.”
Lan Hong balas memandang dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Bagaimana pun percayanya dia kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.
“Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”
“Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita telah melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”
“Ahh, sungguh aneh. Aku sendiri pun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”
Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggota keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau mulai kini engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”
Walau pun wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”
“Dan aku akan menyebutmu siaw-moi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”
Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong pun mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh sesudah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.
“Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”
Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.
“Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”
“Hemmm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”
Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak saat melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangannya.
“Ehhh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”
“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”
“Ahh, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”
Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?” Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.
“Aku tidak mengatakan bahwa engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukah anak tiri, atau anak angkat?”
“Ehhh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”
“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?”
Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.
“Lie-toako, berapa kau kira usiaku sekarang?”
“Paling banyak dua puluh lima tahun.”
Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”
“Apa?! Tidak mungkin sama sekali! Engkau... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli.
Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apa lagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya?
“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”
“Aihhh... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”
“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, dan mungkin malah lebih tua dari padamu.”
“Ahh, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”
“Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako. Berapa jumlah anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”
“Ahhh...!”
Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan dia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman pula. Janganlah mengharapkan yang bukan-bukan!
Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut.
Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya bagaikan mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.
“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”
“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”
“Hemm, sudah sedemikian lihainya walau pun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”
“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya baginya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apa lagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
“Kurasa tidak, toako. Walau pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini.
“Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?” Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjulukan Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pendekar itu terkejut. “Nama besar Koay Tojin sangat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Siansu.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang merupakan sute dari Pek-sim Siansu, guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang.
“Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang luar biasa, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Jika boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.”
Di dalam suara itu terkandung keluhan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu