KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-24


“Losuhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa seharusnya engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, serta mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu malah seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”
Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggota Kim-sim-pang itu amat terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, yang bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, tapi berani mengucapkan kata-kata seperti itu, dan di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau yang berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!”
Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang saja. Dia sudah tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang mempunyai tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.”
“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona manis ini kepada tiga orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan.
Gerakan pendeta ini memang mirip seekor beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga sehingga dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri dan tubrukan itu pun luput.
“Hyaaaaahhhhh...!”
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput. Dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi terjulur ke depan segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.
Karena serangan susulan ini sangat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong lalu menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Dessss...!”
Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis hanya oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sinkang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting kemudian jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Bagaikan harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlomba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Liong membentak marah.
Tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.
Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak sudah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling yang marah bukan main pada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung tambah seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawannya, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggota Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu.
Dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal, bahkan sudah tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng dia pun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, ketika digunakan menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, dia pun tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Dia mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya lantas mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!”
Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggota Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah bergerak mendorong dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!”
Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada di dekat pundak lawan, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!
Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sinkang yang sangat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Jika dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya tidak akan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.
Orang yang mempunyai julukan Beruang Hitam itu bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Kau... kaukah... yang berjuluk Pendekar Bongkok...?” Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk.
Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang. “Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan dia pun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Beruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak perabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.
Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong!
Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong. Juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu dia menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Beruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong.
Beruang Ritam terhuyung dan biar pun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi dia pun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok...!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar.
Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit, kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, sekarang merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami...,” kata pemuda baju kuning.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta, tidak melihat seorang pendekar sakti...,” kata yang ke dua.
“Taihiap... Siocia (nona)... kami tidak berani lagi...,” berkata pula pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong ini menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Uang selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”
Ia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari kedai itu. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya, dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Lagi pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya.
Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan di dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!
Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau pun terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling, walau pun hal itu akan menghancurkan hatinya.
Dari pada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling. Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang.
Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.
Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik pada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan dia pun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lhasa.
Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andai kata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek.
Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang sangat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.
“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.
“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat.”
Mereka memilih sebuah rumah penginapan, kemudian menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. “Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”
Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
“Ahhh, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” pemilik rumah makan itu bertanya.
“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.
Pemilik rumah makan itu memandang heran, tapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang kedai itu merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.
“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lhasa ini, walau pun baru sekali kita bertemu, yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka untuk membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.
“Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatang kara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Ada pun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku hendak mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”
Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang.
“Taihiap, semua orang di Lhasa tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, pasti dengan senang hati aku suka menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi... setelah peristiwa tadi terjadi, sangatlah berbahaya kalau dia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa dia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh ketiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”
Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemilik rumah makan itu.
“Tentu saja kami pun tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...”
Sejenak pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. “Ahh, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka sekali menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap, dan boleh dipercaya!”
Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali padamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”
Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya karena berarti ia mempunyai seorang teman.
Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar akan tetapi bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.
Malam itu juga Sie Liong mengajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.
“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”
Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau...?”
“Aku harus melakukan penyelidikan dan melaksanakan tugasku, Ling-moi. Engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...”
“Tidak, Liong-ko, tidak.... Aku tidak mau berpisah... aku tidak mau kau tinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke mana pun engkau pergi...!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.
Sie Liong tersenyum dan memegang tangan gadis itu, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.
“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, ancaman bahaya sudah muncul. Apa lagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...”
“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekali pun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apa pun juga, asalkan kita jangan saling berpisah...”
“Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan menyesal selamanya. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimana pun, engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul...”
“Liong-koko... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu... ahhh, aku... aku... jangan tinggalkan aku, koko...” Dan Ling Ling menangis!
Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Semua demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.
“Ling-moi! Apakah sekarang engkau mulai membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?”
Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka amat pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.
“Maaf... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah... aku taat... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu... ahhh, mana dapat aku membayangkan itu...” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi tetapi seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.
Sie Liong membiarkan hingga gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu.
Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.
“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.”
“Tapi... tapi... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan membolehkan aku hidup di sampingmu?”
Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain.
Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberi tahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.
“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.”
Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari sesudah awan gelap tercurah menjadi hujan.
“Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”
Pertanyaan ini tak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya mendengar dari pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to bahwa Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang yang harus diselidikinya itu, merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet!
Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin satu minggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apa lagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!
Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. “Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menunggu engkau datang menjemputku? Seminggu?”
“Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...”
“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan sudah sangat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”
Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andai kata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka dia pun mengangguk.
“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”
Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya sudah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?
“Aku akan sabar menanti, koko.”
Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu.
Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik angkatnya’ itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin agar adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan datang untuk membuat perhitungan. Sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak.
Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantarkan oleh pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali…..
********************
Bi Sian memasuki kota Lhasa dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet.

Istana Potala, tempat tinggal Dalai Lama
Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lhasa saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan dia pun kagum dan bangga.
Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan bibirnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan seperti menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!
Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini dan walau pun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, akan tetapi gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apa lagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu birahinya membakar dirinya, akan tetapi dia tidak berani apa-apa, menyentuh pun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lhasa, Bong Gan mengerutkan alis, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena dia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Tadi dia pun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang.
“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri saat kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andai kata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”
Bi Sian menarik napas panjang. “Ahhh, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali. Kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sute-nya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tiang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.
Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Oleh karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruang itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang, sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum.
Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Tetapi sebaliknya, dia pun tidak dapat memperhatikan isi ruangan itu dan keadaan di luar.
Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik. Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, lalu pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.
Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun cepat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya.
Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yaitu wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih dari pada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.
Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat berisi dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ramping itu bagai pohon yang-liu sedang tertiup angin. Lenggangnya mempesona, bagai lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggulnya yang menari-nari setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan.
Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi serta denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah enam puluh tahun tetapi masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.
Gadis itu pun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itu pun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat!
Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di hadapannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu. Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan. Dia pun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan ia pun mengerling ke arah meja itu.
Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, juga dengan pedang di punggung, tentu saja ia pun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apa lagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan dia pun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz dan Han yang memang mempunyai kecantikan istimewa.
Yang berada di sampingnya adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula, yang telah mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan amat tampan gagah itu.
Seperti telah diceritakan pada bagian depan, Thai Yang Suhu mendapatkan tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah’ dan menculik gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sin-to.
Akan tetapi, ketika gerombolan ini sedang mengumpulkan gadis-gadis dan bersembunyi di Bukit Onta, muncullah Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai Yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sin-to tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai Yang Suhu bersama Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar, tidak mampu menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Lhasa karena Thai Yang Suhu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.
Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai Yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah!
Gairahnya segera bangkit. Pek Lan sudah menentukan pilihan untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Meski ia melakukan perjalanan bersama Thai Yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, akan tetapi setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha keras untuk menundukkannya.
Thai Yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan dia pun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiri pun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan menunjukkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah, Thai Yang Suhu mengambil sikap tidak peduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan menggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa ia pun menanggapi perasaan hati Bong Gan!
Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat. Dia mengambil keputusan untuk malam nanti mencari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang sangat mempesona ini.
Pada waktu pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian ini, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah barangkali engkau pernah melihat atau mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”
Bi Sian tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, maka dia pun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimana pun juga, pertanyaan itu takkan mendatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Dua matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu... ehh, apakah dia... ehh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
“Dia...? Ahhh, saya tidak tahu, kongcu...” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...” Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.
Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. “Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...”
Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti.
Melihat tanda ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu