KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-30
“Tranggg...!”
Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.
“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup-hidup!” tegur Pek Lan.
Sementara itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah.
Di dalam hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagai mana pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama menyeringai. “Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.
“Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”
Penjaga yang diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin melihat dia cepat-cepat mati.”
Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
“Dia sudah kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah itu supaya dibersihkan.”
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.”
Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.
Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.
“Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri pun kita akan kalah.”
“Ahh, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh, Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”
Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”
“Sian-moi, engkau tidak adil...”
“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”
“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.
Ia mulai merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
“Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.”
“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.
“Aihhh, paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?” tanya Bong Gan.
Kali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan.”
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.
Akan tetapi, diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini.
Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi...” panggilnya lirih.
Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi...” kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian melirik. “Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.
Sambil menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal, “Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu menimbulkan kecurigaan hatinya.
Dia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan kini.
Namun dia mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjinah dengan wanita lain!
Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.
Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya!
Bagaimana juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air mata.
Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi dengan mulut tersenyum manis…..
********************
“Omitohud...! Orang muda yang malang...,” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.
Camundi Lama adalah seorang pendeta yang umurnya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali tidak termasuk seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di sana adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.
Oleh karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanyalah menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan keras dan jahat yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, akan tetapi dia tidak mau ikut-ikutan dan pura-pura tidak tahu saja.
Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri!
Dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain darahnya keracunan sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia sudah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
“Kasihan, sungguh orang muda yang malang...,” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Biar pun dia belum bisa mengingat semua peristiwa yang lalu, akan tetapi dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
“Ling Ling... di mana Ling Ling...”
Camundi Lama membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.
“Siapakah Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya.
“Ahh, Ling Ling...? Dia... dia… aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan... ahhh, sudahlah, aku tidak ingat lagi...”
Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan ia juga teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah diakibatkan dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah dia pun bangkit duduk bersila.
“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung, kemudian dia pun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara perabot-perabot perlengkapan badan saja.”
“Omitohud...! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya, akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan senyaman ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kirimu, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau kini tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang sudah dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini mati pun tidak perlu disesalkan, kenapa baru kehilangan yang sedikit itu mesti dibuat berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud... semoga Sang Buddha memberikan penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau bisa menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apa pun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tiada penyesalan apa pun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan tangannya merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi yang sangat berbahaya adalah racun di dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sinkang. Namun akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”
Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu mulai sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Mendadak terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.
Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang memang pantas dia hormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.
Kim Sim Lama melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Engkau tidak perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu! Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”
Melihat sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama.
Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Supaya tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.
Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan pula belasan orang pendeta yang membaca doa.
Di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan ada seorang pun yang menaruh curiga.
Karena orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang anggota Kim-sim-pang, maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat pun tidak berani. Biar pun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.
Peti mati itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.
Tadi dia hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.
“Tabung ini untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu.
Mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya?
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bekerja adalah kekuasaan-Nya!
Teringat akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama…..
********************
Sebelum peti mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.
Akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa...?!” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan suara agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur, ”Sian-moi? Kalau dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi...!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.
Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka ia pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang.
Kim Sim Lama pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah sedemikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan kini mulai menguasainya.
“Aku... aku membenci Pendekar Bongkok...”
Jawaban Bi Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara hatinya! Dia sendiri memang percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya! Dia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih...”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan ia pun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai Yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak peduli. Dia masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.....
********************
Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.
“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup-hidup!” tegur Pek Lan.
Sementara itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah.
Di dalam hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagai mana pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama menyeringai. “Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.
“Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”
Penjaga yang diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin melihat dia cepat-cepat mati.”
Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
“Dia sudah kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah itu supaya dibersihkan.”
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.”
Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.
Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.
“Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri pun kita akan kalah.”
“Ahh, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh, Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”
Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”
“Sian-moi, engkau tidak adil...”
“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”
“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.
Ia mulai merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
“Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.”
“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.
“Aihhh, paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?” tanya Bong Gan.
Kali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan.”
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.
Akan tetapi, diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini.
Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi...” panggilnya lirih.
Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi...” kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian melirik. “Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.
Sambil menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal, “Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu menimbulkan kecurigaan hatinya.
Dia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan kini.
Namun dia mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjinah dengan wanita lain!
Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.
Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya!
Bagaimana juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air mata.
Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi dengan mulut tersenyum manis…..
********************
“Omitohud...! Orang muda yang malang...,” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.
Camundi Lama adalah seorang pendeta yang umurnya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali tidak termasuk seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di sana adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.
Oleh karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanyalah menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan keras dan jahat yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, akan tetapi dia tidak mau ikut-ikutan dan pura-pura tidak tahu saja.
Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri!
Dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain darahnya keracunan sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia sudah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
“Kasihan, sungguh orang muda yang malang...,” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Biar pun dia belum bisa mengingat semua peristiwa yang lalu, akan tetapi dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
“Ling Ling... di mana Ling Ling...”
Camundi Lama membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.
“Siapakah Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya.
“Ahh, Ling Ling...? Dia... dia… aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan... ahhh, sudahlah, aku tidak ingat lagi...”
Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan ia juga teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah diakibatkan dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah dia pun bangkit duduk bersila.
“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung, kemudian dia pun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara perabot-perabot perlengkapan badan saja.”
“Omitohud...! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya, akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan senyaman ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kirimu, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau kini tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang sudah dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini mati pun tidak perlu disesalkan, kenapa baru kehilangan yang sedikit itu mesti dibuat berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud... semoga Sang Buddha memberikan penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau bisa menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apa pun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tiada penyesalan apa pun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan tangannya merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi yang sangat berbahaya adalah racun di dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sinkang. Namun akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”
Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu mulai sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Mendadak terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.
Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang memang pantas dia hormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.
Kim Sim Lama melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Engkau tidak perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu! Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”
Melihat sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama.
Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Supaya tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.
Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan pula belasan orang pendeta yang membaca doa.
Di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan ada seorang pun yang menaruh curiga.
Karena orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang anggota Kim-sim-pang, maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat pun tidak berani. Biar pun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.
Peti mati itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.
Tadi dia hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.
“Tabung ini untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu.
Mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya?
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bekerja adalah kekuasaan-Nya!
Teringat akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama…..
********************
Sebelum peti mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.
Akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa...?!” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan suara agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur, ”Sian-moi? Kalau dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi...!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.
Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka ia pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang.
Kim Sim Lama pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah sedemikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan kini mulai menguasainya.
“Aku... aku membenci Pendekar Bongkok...”
Jawaban Bi Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara hatinya! Dia sendiri memang percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya! Dia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih...”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan ia pun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai Yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak peduli. Dia masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.....
********************
Komentar
Posting Komentar