KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-02


Kehidupan yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang pemuda yang keras. Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga meski pun ketika ayah ibunya meninggal dia baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi dia sudah mempunyai kepandaian membaca dan menulis.
Ketika dia hidup seorang diri, merantau sebatang kara dan menemui banyak kekerasan dan kesulitan hidup, dia mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras itu, dia perlu menguasai ilmu silat. Maka, ke mana pun dia merantau, dia selalu berusaha untuk mempelajari ilmu silat dari siapa pun.
Akhirnya, pada usia lima belas tahun, setelah menguasai beberapa macam ilmu silat, dia bekerja pada seorang kepala perampok kenamaan di sepanjang Sungai Kuning. Karena dia amat setia dan pandai mengambil hati, dia pun menjadi murid kepala perampok itu dan kemudian mempelajari ilmu silat dan ilmu... merampok!
Sering kali dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk merampok atau membajak perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun, dia sudah menjadi seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu silatnya cukup lihai, akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar dengan modal sedikit ilmu sastra yang pernah dipelajari pada waktu ayahnya masih hidup.
Pakaiannya selalu rapi, dan karena wajahnya tampan, maka banyak wanita yang jatuh hati padanya. Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya adalah puteri kepala perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu memang cantik manis, dan segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka.
Akan tetapi, kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan Sun Kok yang menjadi pembantunya dan muridnya pula. Walau pun dia adalah kepala perampok, akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri seorang perampok! Dia ingin melihat puterinya menjadi isteri dari seorang pejabat tinggi atau seorang hartawan, paling tidak seorang yang hidup terhormat dan terpandang!
Di sini terbukti bahwa tiap orang yang melakukan penyelewengan dalam hidupnya, sama sekali bukan karena dia tak tahu atau menyukai pekerjaan maksiat atau penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi perbuatan menyeleweng itu! Kalau seorang pencuri, ketika sudah menjadi kaya raya dan terhormat, tak mungkin dia ingin mencuri lagi!
Kepala perampok itu pun tidak ingin mempunyai mantu seorang perampok!
Akan tetapi, hubungan antara Sun Kok dan puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam, bahkan puteri kepala perampok itu sudah berulang kali menyerahkan dirinya kepada Sun Kok. Sudah berulang kali mereka melakukan hubungan suami isteri dengan pencurahan kasih sayang. Karena dihalangi oleh orang tua gadis itu, jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah minggat!
Sun Kok dan kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu. Ketika lari gadis itu membawa pula beberapa barang berharga. Mulailah mereka berdua hidup sebagai suami isteri perampok! Mereka pergi jauh meninggalkan sarang kepala perampok di tepi Sungai Kuning itu dan menjadi perampok di sepanjang perbatasan Propinsi Hok-kian di timur.
Demikianlah sedikit riwayat Yauw Sun Kok. Sampai lima tahun kemudian, saat ia berusia dua puluh lima tahun dan menjadi perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua ketika sedang merampok kereta keluarga bangsawan, mereka bertemu dengan Sie Kian dan dalam perkelahian tersebut, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie Kian!
Yauw Sun Kok yang kematian isterinya menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati yang hebat terhadap Sie Kian. Kembali kini dia hidup sebatang kara karena isterinya belum pernah melahirkan seorang anak.
Dengan dendam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu merantau ke barat. Dia mendengar bahwa Pegunungan Himalaya merupakan gudang para pertapa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka ke sanalah dia pergi, untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas dendamnya kepada Sie Kian.
Selama lima tahun, Yauw Sun Kok menghamburkan semua hartanya yang dikumpulkan dari hasil merampok bersama isterinya, termasuk harta bawaan isterinya, hanya untuk belajar ilmu silat. Bermacam guru ditemuinya dan dia pun berhasil mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi.
Dia pun behasil mendapat sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga teratai putih. Pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau dimainkan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Setelah merasa cukup mempunyai ilmu silat yang boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar baginya untuk menemukan tempat tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka perguruan silat bayaran di kota Tiong-cin itu.
Dia melakukan penyelidikan dan merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie itu berdiri terpencil dan para muridnya tinggal di luar perguruan. Setelah memperhitungkan masak-masak, dia lalu mengirim surat ancaman dengan mempergunakan senjata rahasia piauw-nya dan akhirnya, dia berhasil membasmi keluarga Sie, dan melarikan dua orang anak musuh besarnya.
Sungguh di luar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta kepada Lan Hong, padahal dia bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada wanita cantik. Mungkin karena antara wajah Lan Hong dengan mendiang isterinya ada persamaan atau kemiripan, maka dia tertarik sekali.
Setelah berhasil menaklukan Lan Hong sehingga gadis remaja itu menyerahkan diri kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di Tiong-cin itu akan menimbulkan kegemparan, maka dia kemudian melakukan perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia membawa Lan Hong yang telah menjadi isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak kecil itu.
Di sebuah kota kecil bernama Sung-jan, di perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun Kok telah memiliki sebuah rumah yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang terakhir setelah menuntut ilmu.
Di kota ini namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang sakti. Namanya dapat terkenal karena dia memiliki hubungan dengan banyak tokoh kang-ouw di daerah barat. Memang Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat.
Setelah tiba di rumahnya, Sun Kok lalu merayakan pesta pernikahannya dengan Sie Lan Hong! Meriah juga pesta itu karena selain mengundang orang-orang terkemuka di kota Sung-jan, juga dia mengundang tokoh-tokoh kang-ouw di daerah barat yang menjadi kenalannya.
Suatu keanehan terjadi dalam hati Sie Lan Hong. Melihat sikap bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu, sikap yang sangat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih, penuh kemesraan dan kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian dalam hati dara remaja ini! Apalagi dia melihat betapa Sun Kok memang bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan sekedar main-main dan untuk mempermainkannya saja.
Melihat betapa suaminya mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan mereka, mulai timbul perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang berpengalaman itu memang pandai merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang usianya baru lima belas tahun, maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan serta kenikmatan kasih sayang suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dendam itu lenyap terganti perasaan cinta!
Akan tetapi ada suatu hal yang menggelisahkan hati Yauw Sun Kok. Dia pun kini sudah tidak mendendam lagi kepada keluarga Sie, dan cintanya terhadap Lan Hong yang sudah menjadi isterinya adalah cinta yang mendalam. Bahkan ia pun tidak membenci Sie Liong, adik isterinya itu. Sebaliknya, dia bahkan juga memiliki perasaan sayang kepada anak itu, di samping perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi.
Akan tetapi, di samping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan timbul di dalam hatinya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam diri anak ini dia melihat ancaman bahaya besar!
Kalau kelak Sie Liong sudah menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendengar akan kematian ayah ibunya di tangan kakak iparnya ini, dan tentu akan terjadi mala petaka! Besar sekali kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas dendam! Dari pihak isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan kemesraan dan kasih sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini?
Setahun kemudian, ketika Sie Liong sudah pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok mengajaknya ke kebun belakang. Sementara itu Lan Hong sedang menyusui anaknya di dalam kamar. Sesudah menikah setahun lamanya, Lan Hong melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan diberi nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian baru berusia satu bulan.
Sun Kok mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun Kok sering kali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isterinya itu anak kandungnya sendiri. Sun Kok tidak berpura-pura, di dalam hatinya memang ada rasa sayang dan iba kepada Sie Liong.
Akan tetapi, ketika dia membawa Sie Liong bermain-main di kebun belakang, kembali dia teringat akan bahaya yang bisa mengancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie Liong mempunyai tulang yang kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik sekali untuk kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Jika kelak anak ini menjadi seorang pandai, tentu keselamatan dirinya akan terancam!
Wajah anak itu saja sudah mulai mengingatkan dia akan wajah Sie Kian yang dahulu dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang lebih mirip ibunya. Kelak Sie Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin akan membunuhnya untuk membalas dendam!
Mulailah dia merasa menyesal, mengapa dia membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal ampun. Pada saat itu dia insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan karena benci atau dendam, melainkan dalam sebuah perkelahian yang wajar.
Ketika itu, sebagai seorang pendekar, Sie Kian membela bangsawan yang dirampoknya. Dalam perkelahian itu Sie Kian berhasil mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya tewas dan dia terluka, juga Sie Kian terluka oleh senjata rahasia piauw-nya.
Bagaimana pun juga, anak ini merupakan ancaman bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan ancaman baginya itu. Sekali menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan lenyaplah ancaman bahaya itu. Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada isterinya. Dia telah bersumpah tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya ternyata juga memegang teguh janjinya.
Isterinya itu kini benar-benar menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan bahkan telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia dapat melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimana pun juga, dia masih memiliki harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega untuk membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?
“Ci-hu (kakak ipar)... ci-hu... tangkap... tangkap...!” Tiba-tiba Sie Liong berseru gembira sambil menunjuk ke arah seekor kupu-kupu kuning yang sedang beterbangan di antara kembang-kembang yang tumbuh di kebun itu.
Yauw Sun Kok memandang anak itu. Dia tersenyum. “Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau anak pandai, harus mampu menangkap sendiri kupu-kupu itu.”
Sie Liong dengan gembira berlari-lari mengejar kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu terlampau gesit dan terbangnya terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar terus. Karena ketika berlari-lari itu dia selalu melihat ke arah kupu-kupu di atas, tiba-tiba kaki Sie Liong tersandung batu besar dan dia pun tergelincir dan terguling.
“Dukkk!”
Ketika terjatuh itu, kepalanya membentur batu dan anak itu pun pingsan! Kepalanya yang kanan dekat pelipis mengeluarkan benjolan berdarah.
Sun Kok terkejut dan cepat dia meloncat menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu duduk di atas bangku dan memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia hendak menyadarkan anak itu dengan memijat belakang kepalanya, tiba-tiba menyelinap pikiran lain dalam benaknya. Inilah kesempatan yang amat baik!
Dia tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan cacatnya itu, kelak dia tidak akan dapat menjadi orang kuat dan terhindarlah dia dari ancaman balas dendam anak ini! Membuat dia cacat tak berarti membunuhnya. Dia tidak melanggar sumpahnya.
Dalam keadaan pingsan begini, anak ini pun tidak merasakan apa-apa! Dan dia akan mengusahakan agar sama sekali tak ada bekas-bekas penganiayaan, sehingga peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi cacat!
Tanpa ragu lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh Sie Liong yang pingsan itu, membuka bajunya, kemudian dengan dua jari tangan kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di punggung anak itu! Benarlah seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak kelihatan kesakitan, padahal tiga kali totokan jari dan puntiran itu sudah membuat tulang punggung itu retak serta jaringan syaraf dan ototnya menjadi hancur!
Setelah membereskan kembali pakaiannya, Sun Kok lalu memondong tubuh itu lagi dan membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada punggung itu tentu tak akan menimbulkan kecurigaan. Tak ada seorang pun akan menyangka bahwa tanda itu adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya!
Lan Hong sangat terkejut ketika melihat suaminya memasuki kamar sambil memondong tubuh Sie Liong yang lemas seperti anak tidur.
“Ahh, ada apakah?” tanyanya sambil memandang wajah suaminya dengan khawatir.
“Dia mengejar kupu-kupu, namun tersandung dan terjatuh. Kepalanya terbanting ke atas batu dan dia pingsan,” katanya sambil merebahkan tubuh anak itu ke atas pembaringan.
Lan Hong sejenak memandang wajah suaminya. Sepasang alisnya berkerut, sedangkan pandang matanya penuh dengan kecurigaan. Melihat isterinya memandangnya seperti itu, Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya.
“Isteriku, apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat, aku tidak akan pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku sudah sangat sayang kepadanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku dengan penuh kecurigaan seperti itu?”
Lan Hong membalas rangkulan suaminya.
“Ahh, maafkan aku...,” dan ia pun segera memeriksa keadaan Sie Liong.
Kelihatannya hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi biar pun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib itu seorang peranakan Nepal dan memang dia pandai sekali dalam soal pengobatan.
Orang berkulit hitam, tinggi kurus dan bersorban putih itu datang membawa keranjang obatnya dan segera memeriksa Sie Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun Kok yang di kota itu dikenal sebagai seorang ahli silat yang pandai, selain pekerjaannya sebagai seorang pedagang rempah-rempah yang cukup maju.
Mula-mula dia memeriksa keadaan kepala yang membenjol itu, ditunggui dengan penuh kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong puterinya sambil didampingi suaminya. Tabib itu mengangguk-angguk.
“Hanya luka di luar, tidak ada yang berbahaya dengan kepala ini. Hemmm, kenapa dia belum juga siuman? Tentu ada luka lain. Biar kuperiksa tubuhnya.”
Dia lalu membuka pakaian anak itu, dibantu oleh Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa khawatir. Seorang tabib yang pandai seperti orang Nepal ini pasti dengan mudah akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan tetapi tidak mungkin akan tahu bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan akan mengira bahwa punggung itu pun terpukul benda keras.
Dugaannya memang benar. Setelah memeriksa seluruh tubuh Sie Liong, akhirnya tabib itu menemukan tanda menghitam di tulang pungungnya.
“Ahhh, inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka ini lebih hebat dari pada luka di kepalanya!”
Dia memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan alisnya, menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang.
“Bagaimanakah keadaannya, Sin-she (Tabib)?” tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal itu.
“Tidak baik... sungguh tidak baik...! Luka di punggung ini hebat sekali. Agaknya tulang punggung ini retak, dan otot-ototnya juga terluka parah...”
“Aihh! Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dan... dan... apakah dia masih bisa disembuhkan, Sin-she?” tanya pula Lan Hong sambil memandang suaminya.
Sun Kok mengangguk-angguk. “Aku hanya melihat ada batu besar di bawahnya ketika dia jatuh. Oleh karena yang nampak hanya kepalanya yang membenjol dan berdarah, kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu tadi punggungnya terbanting pada batu yang menonjol sehingga seperti terpukul.”
Tabib itu mengangguk-angguk. “Agaknya begitulah. Akan tetapi jangan khawatir, anak ini masih kecil sehingga luka parah itu tidak akan sampai merenggut nyawanya, walau pun aku khawatir sekali...”
Melihat tabib itu nampak ragu-ragu, Lan Hong bertanya cemas, “Khawatir apa, Sin-she? Katakanlah, apa yang akan terjadi dengan adikku?”
“Dia akan dapat disembuhkan dengan obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih murni. Akan tetapi, pertumbuhan tulang punggungnya itu akan tidak normal dan aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok.”
“Ahhh...!” Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya.
Tangan suaminya menyentuh pundaknya dengan lembut. “Tidak perlu berduka. Biar pun cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali.”
Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta.
Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri. Dia merasa lega dan aman sekarang. Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagaimana pun juga tidak mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti.
Rasa takut dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan kekejaman itu kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.
Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang bodoh. Walau pun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu pada saat mengejar kupu-kupu, dan ketika telah sadar Sie Liong pun dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupu-kupunya yang nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, akan tetapi diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya.
Dia tahu bahwa suaminya itu, bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui mengenai kematian orang tuanya, lalu anak itu akan membalas dendam kepadanya. Dia merasa curiga apakah jatuhnya adiknya itu bukan disengaja dan dibuat oleh suaminya!
Akan tetapi ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka sudah mempunyai seorang anak. Andai kata memang benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar sumpahnya.
Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukanlah pembunuhan. Karena itu, khawatir kalau dia menuduh tanpa bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara dia dan suaminya, maka Lan Hong diam saja dan menahan itu di dalam hatinya…..
********************
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun. Enci-nya tidak mempunyai anak lain kecuali Yauw Bi Sian yang kini sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan tetapi dia rajin sekali bekerja.
Meski punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang turut pula belajar, dengan cepat sekali dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang sekarang menjadi seorang anak yang biar pun pandai membaca dan menulis, akan tetapi seorang anak bongkok yang biar pun sehat tapi bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya, yaitu melihat bahwa Sie Liong tidak menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat.
Sering kali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Di satu pihak dia merasa kecewa melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapa pun juga ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri. Ia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka dia pun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah, walau pun cihu-nya memiliki beberapa orang pelayan.
Semenjak kecil Bi Sian sangat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Oleh karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka biar pun mereka itu adalah paman dan keponakan, namun hubungan mereka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya.
“Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu ini tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung mulai tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok pernah berkata.
Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya untuk belajar ilmu silat.
Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka ia pun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka hanya berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajari dari ayahnya kepada Sie Liong.

Dan si bongkok ini pun menerimanya dengan sangat gembira. Memang dia ingin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang mau mengajarnya.
Ternyata kecerdasannya membantu dirinya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap gerakan. Bahkan karena bakatnya ini dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih cekatan, jauh lebih baik dibandingkan Bi Sian.
Tentu saja ada hambatan yang besar baginya, yaitu tubuhnya yang bongkok. Karena itu, dalam beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Selain itu kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya setelah dia berlatih silat bersama Bi Sian.
Setelah Sie Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian sudah menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena sejak kecil dia digembleng ayahnya dan mempelajari semedhi dan latihan pernapasan, maka meski pun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat.
Dua orang anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat. Baik Sun Kok mau pun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kesehatan Sie Liong yang baik dan gerakannya yang cekatan itu adalah akibat anak itu sudah belajar silat. Suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya anak itu bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi akhirnya kemampuan Sie Liong bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu petugas-petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok hingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani.
Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Walau pun semua orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan isterinya, tidak ada seorang pun yang berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh enci-nya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang persediannya sudah hampir habis. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian lalu berkeras hendak ikut dengannya. Ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak.
Hari itu memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang-orang hendak menyambut hari raya Imlek, menyambut ‘tahun baru’ atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang mereka.
Seminggu lagi ‘sin-cia’ tiba. Orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan dapur, kemudian mulai ramai memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka akan mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Hati Sie Liong dan Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar itu pun ramai, penuh dengan orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira.
Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan, “Hee, bocah bongkok!” begitu saja.
Akan tetapi, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebutnya si bongkok itu pun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu terasa menyakitkan hati.
Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatutnya disebut si bongkok!
Akan tetapi, setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang dianggapnya sebagai suatu ejekan atau hinaan.
Dua orang anak yang berjalan berdampingan itu memang merupakan pemandangan yang agak ganjil.
Wajah Sie Liong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Namun tubuhnya yang melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar, membuat dia nampak amat pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang bagaikan lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba dalam hati orang yang memandangnya.
Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya amat manis, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itu pun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah.
Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya sedang bermain-main di tepi jalan. Ketika melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu.
Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka sangat manis dan menarik.
Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri hati, maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.
“Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?” bertanya seorang di antara mereka.
Karena pertanyaan itu sopan dan wajar, Bi Sian lalu mengangguk. “Benar, aku hendak berbelanja ke pasar.”
“Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar, nona Yauw. Dari pada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!” kata anak ke dua.
“Nona Yauw,” kata orang ke tiga sambil tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kau jual?”
Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka bertiga itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan dia melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian hendak menantang berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak yang paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian. “Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka.
“Mari kita pergi dari sini!” katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton.
Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puterinya Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka.
Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kue, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mau mencari keributan. Merekalah yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, mereka pun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan.
Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya perlu membawa keranjang kecil yang tak begitu berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka.
Jarak antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan sekarang keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ.
Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah lagi dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun, yang sikapnya seperti jagoan. Anak penuh jerawat yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang paling depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi malah Bi Sian yang menjadi marah. Ia segera melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu.
“Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan engkau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan ia pun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh...!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri. Ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian.
Bi Sian sudah menerjang maju lagi. Sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya, tahu-tahu jatuh tersungkur dan memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan mereka pun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!”
Bi Sian lalu membagi-bagi pukulan dan tendangan sehingga lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka menubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kau hajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian.
Biar pun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian supaya anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda serta mengganggu, bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia memang anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya.
Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan itu.
Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw jika telah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi selama ini dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis.
Meski dia belum pernah berkelahi, namun dia sudah dapat mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan untuk mengelak, menangkis, memukul, menendang dan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itu pun luput!
Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak ini pun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itu pun tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan bisa merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri.
Temannya yang lebih tua darinya dan mempunyai ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, pada saat menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan.
Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya serta mukanya menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak.
“Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ahhh, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
“Plakkk!”
Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan saja pukulan si muka hitam mengenai dadanya. Akan tetapi dia lalu membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera komandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, namun terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya sudah retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan.
Sie Liong lantas melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sekarang sudah bangun lagi. Dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau lagi menerima pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama ‘Dua Tiang Penyangga Langit’.
Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu