KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-20


“Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok, beraninya melarikan gadis orang!” teriak ayah angkat gadis itu yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.
“Heiii! Gumalung... tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak beberapa orang. Mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
“Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Malah anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!”
Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya. “Ahhh... ohhh... maafkan kami... maafkan kami... sungguh kami tidak tahu…” kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membungkuk-bungkuk.
“Sudahlah!” kata Sie Liong membentak. Melihat banyak orang di sana, dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling.
“Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, dengan dalih tidak memiliki anak, kalian kemudian mengangkat dia sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau lalu membencinya. Dan isterinya yang tidak tahu diri ini bukannya menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, betul tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terus terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.
“Memang engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau rakus, engkau suami mata keranjang! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!” Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar.
Suaminya cepat-cepat menangkap kedua pergelangan tangan isterinya dan mereka pun mulai bersitegang. Agaknya si suami yang kerempeng ini kalah tenaga sehingga justru dialah yang terbawa terhuyung ke kanan kiri.
“Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati dan cemburu melihat ia cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!”
“Apa kau bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”
Kedua suami isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Tidak ada seorang pun yang berusaha untuk memisahkan pasangan suami isteri itu.
Sie Liong dengan gerakan tidak sabar segera maju. Sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya lalu terpelanting, untuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya sangat terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap, ampunkan saya...” Wanita itu merengek.
“Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling...” kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia pun menyambung, “Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini...”
“Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kalian!”
“Ehhh...? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?” Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini.
Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot apa bila ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
“Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!” kata pula Nona gendut itu.
Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang pun sudah mendengarnya. Maka, dia pun lalu berkata dengan suara tegas.
“Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, dan dia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa berkeberatan?”
“Tapi... tapi... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling... pakaian tidak tercuci bersih, masakan pun tidak enak rasanya...”
“Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?” bentak isterinya. “Kalau kurang bersih, kau cuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena... karena...”
“Karena apa?” Sie Liong mendesak.
Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya dia takut untuk bicara. Akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya dia berkata juga, “... anak itu sudah delapan tahun tinggal bersama kami... dan entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya... pakaiannya...”
Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu. “Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?”
“Sedikitnya seratus tail perak...”
Terdengar suara orang-orang yang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa sikap orang tua angkat Ling Ling itu keterlaluan sekali.
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lainnya yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.
“Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua sudah bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!”
Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana caranya dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu. Dan sekarang mereka datang hendak menyerahkan uang, bukan hanya seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!
“Terima kasih!” katanya. “Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.”
Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak senilai lima tail itu besar dan berkilauan, jumlahnya ada sebanyak dua puluh buah.
“Lihat, inilah uang yang pernah kau keluarkan untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding.
Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja tadi gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!
“Paman, harap sisanya ini paman bagi-bagikan kepada para gadis yang sudah menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!”
Bersama Ling Ling yang sudah berlari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu ke dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu…..
********************
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walau pun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil.
Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan. Dia membuka baju luarnya yang agak tebal, kemudian diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat hal ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
“Terima kasih...” katanya lirih.
Ling Ling termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena seharian itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walau pun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali.
Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apa pun. Minum pun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu semenjak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya.
Ia merasa berbahagia! Biar pun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tidak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena sepanjang hari itu dia banyak bergerak jalan, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling.
Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tidak pernah mengeluh.
Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut bersama dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Tetapi selama sepekan ini dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat bukan main!
Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Dia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan lebih dahulu pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya sambil tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya, apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar. “Tadi aku memang kedinginan, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah...?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. “Akan tetapi, alangkah nyamannya dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang ke kakinya, kemudian menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia sama sekali tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak nyeri...”
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar...?” tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Kembali gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sekali ini sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau adalah seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang sedang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika dia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran, “Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum. “Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu pasti nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu pun berseri kembali. “Aih, Liong-ko, engkau benar-benar mengejutkan aku. Kiranya itu yang kau namakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan pada saat engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Juga sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku sempat mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa sambil menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga sangat malu. “Ihhh, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku terasa nyeri, habis mengapa? Andai kata aku mengaku nyeri pun, pengakuan itu tak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Jika aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar supaya rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat untuk menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohong, ya koko?”
Kalimat terakhir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu. Dia teringat kepada Yauw Bi Sian.
Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga sering merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kini pun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.
“Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku hendak membuat pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik. “Engkau hendak membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling...”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Bagiku engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku...”
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau sudah kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku juga membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak pernah menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung...”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa di dalam hatinya tersapu bersih, membuat dia pun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu memandang heran. “Kau sengaja? Aku... aku tak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk tetap ikut denganku. Apa bila engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga yang dapat kupercaya dan...”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, ialah ikut denganmu ke mana pun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biar pun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak oleh gadis ini betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ahhh, bagaimana mungkin?
Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa atau pun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang mana pun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, kini hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi...”
“Ssstttt, di sana ada daging...!”
Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, secara tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu pun meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tidak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat hal ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali... ahhh, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.” Mendadak ia kelihatan bimbang dan kemudian mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya sangat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum. “Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kau butuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dia butuhkan itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa mendapatkan bumbu untuk memanggang daging kelinci tadi?
Dengan lesu dia pun menjawab, “Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam... dan gula agar terasa gurih dan manis...”
Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
“Seorang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini sudah bekerja keras, apa lagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang sangat tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya.
Kegembiraan gadis itu menular kepada Sie Liong. Dia pun merasa gembira dan lincah, merasa seolah-olah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, lalu membantu Ling Ling dan tidak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka makin keras berkeruyuk saling bersahutan.
Sie Liong lalu mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian mereka pun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Pada waktu mereka makan ini pun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh. Kenapa mereka berdua berebut saling memilihkan daging terbaik? Kenapa mereka saling mementingkan kawannya dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu.
Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, jika dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lainnya kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain.
Sebaliknya, dari Ling Ling dia dapat merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dirinya merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk dapat menduga sejauh itu.
Kini perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tidak jauh dari situ. Sesudah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.
“Ling Ling...” Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya.
Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
Aku heran sekali...”
Melihat pemuda itu jadi meragu, Ling Ling menjadi penasaran. “Apa yang kau herankan, Liong-ko?”
“Engkau...”
“Ehhh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau... mengapa nekat hendak ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatang kara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa...”
“Sama dengan aku!” Ling Ling menyambung cepat.
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku...”
“Engkau adalah seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang mengagumkan dan hebat sekali, dan...”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku adalah seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan...”
“Cukup, Liong-ko!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau adalah seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu pada waktu itu dan di saat itu pula aku... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke mana pun engkau pergi...” Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Justru itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau berani mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak engkau kenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu. “Engkau kasihan kepadaku karena... tubuhku bongkok? Karena cacat tubuhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Walau pun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu...”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria yang cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya... aku kagum kepadamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah...”
“... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan sambil tersenyum pahit.
Ling Ling mengerutkan alisnya. “Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah cara engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak peduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, dan jantungnya berdebar keras. Dan dia pun lalu bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya.
Dia melihat seorang gadis yang sangat cantik manis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia. Pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun mendadak tertawa bergelak.
Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pepohonan yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut sekali dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara tawa pemuda itu mula-mula perlahan, semakin lama semakin kuat dan anehnya, dia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu.
Bagaikan terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan dia pun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko...! Liong-ko... Kau... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi pada waktu tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling...!”
“Liong-ko... ahhh, Liong-koko...!”
Keduanya saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuat seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu birahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya, akan tetapi dia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong.
Mereka duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi kehidupan yang kejam ini, Liong-ko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkau pun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum. “Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga supaya api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko.”
Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena dia merasa lelah sekali dan mengantuk. Begitu dia merebahkan diri miring, dia pun pulas tertidur.
Dia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan rasa sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air untuk mandi. Hawa sangat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu.
Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hi-hik-hik, aku tidak berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu amat dingin pula seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci pakaian yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan aku cucikan sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. “Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut. “Aihh, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apa kau kira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kau cuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa. “Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari tempat itu, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang sambil tersenyum. Sesudah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, dia pun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini mulai sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan.
Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihiasi butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri.
Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biar pun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi.
Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
“Ling Ling...!” Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak...” Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban.
Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andai kata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia pasti akan bisa mendengarnya.
Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air.
Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling...!” Dia memanggil lagi.
Sekarang tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, biar pun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban!
Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling sama sekali.
“Ling Ling...!” Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi mau pun pakaian kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian!
Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki!
Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu sudah diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat!
Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi oleh kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam.
Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat sedang menggeliat-geliat dan meronta-ronta, melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya!
Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biar pun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar nyala api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas.
Begitu tubuhnya menerjang ke depan dan tangannya menyambar, maka rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya. Dengan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu sudah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seakan-akan tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja.
Si brewok berteriak-teriak, dia ketakutan setengah mati. Akan tetapi, dengan kemarahan meluap-luap Sie Liong membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing lantas serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka.
Akan tetapi, kembali Sie Liong mengeluarkan suara melengking, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri karena pergelangan tangan kanan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi!
Sekarang mereka memandang dengan kedua mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Dan saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun... ampunkan kami...”
Akan tetapi, lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat. Biar pun ia merasa merah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, laksana iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, dia pun lalu menghampirinya.
“Ling Ling..., kau tidak apa-apa...?” tanyanya lembut.
“Liong-ko...!” Ling Ling menjerit dan ia pun pingsan dalam dekapan Sie Liong.
Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu kembali ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Sambil memaksa matanya supaya jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia lalu merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya.
Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena teringat kembali akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk.
Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling bahkan meronta-ronta dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan aku...! Lepaskan! Keparat jahanam kalian... lepaskan akuuuu...!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku...!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu.
Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul. “Liong-ko... ahhh, Liong-ko...!”
Dan dia pun menangis di dada Sie Liong, tanpa sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya menjadi terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari kelima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini...” Sie Liong menutupkan lagi selimut yang tadinya menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa kini ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia pun bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia cepat mengenakan pakaiannya di balik selimut.
Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran. “Liong-ko, engkau kenapakah...? Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, mendadak mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Pada waktu engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi...”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang amat panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko, engkau kenapa? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penyesalan. “Aku telah membunuh mereka...”
Gadis itu memandang heran. “Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh! Mereka itu jahat sekali!”
Sie Liong menghela napas panjang.
“Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa kita harus membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Aku tadi membunuh karena rasa benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka...!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andai kata tidak ada engkau, Liong-ko, aihh... aku akan tertimpa mala petaka yang bagiku bahkan lebih mengerikan dan menyedihkan dari pada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang-barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan lebih dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, ia pun menunduk. “Baiklah, Liong-ko... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyum Sie Liong melebar dan tak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya.
Dia tadi merasa amat terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Siansu kepadanya.
Tidak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Orang-orang yang kini menjadi jenazah karena sudah dibunuhnya secara kejam.
Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.....
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu