KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-21


Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lhasa, ibu kota di Tibet. Meski pun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena letak tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan.
Hanya orang-orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah kaum pedagang, dan yang mereka kunjungi hanya kota-kota besar seperti Lhasa. Yang berkunjung ke telaga Nam hanyalah orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya.
Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya berbentuk bulat dengan kulit muka putih bersih. Sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali, dengan kedua mata yang tajam mencorong, tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek.
Ada pun yang wanita adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyuman dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri-seri.
Anehnya, gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukanlah kain buntut. Agaknya memang sengaja dibuat tambal-tambalan dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sute-nya, Coa Bong Gan. Biar pun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin.
Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnya. Dan ia minta bantuan sute-nya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supek-nya, yaitu Pek-sim Siansu.
Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan dapat mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Tentu mudah bagi mereka untuk menduga bahwa Pendekar Bongkok adalah julukan yang diberikan orang-orang kepada Sie Liong, maka mereka terus melakukan pengejaran.
Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka harus melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja betapa sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biar pun orang itu mempunyai cacat bongkok sekali pun.
“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lhasa,” kata Bong Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau pun kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.”
Bi Sian menyetujui pendapat sute-nya dan pergilah mereka menuju ke Lhasa. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari.
Bi Sian tidak peduli akan pandangan orang saat melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar pun sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, tetapi ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Dia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukan kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanan yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang pada masa kecilnya menjadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya segera meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walau pun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena suci-nya tentu akan menegurnya.
Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!
Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, selalu terjadi perang di dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan suci-nya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas.
Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada suci-nya, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung di dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sute-nya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak.
Dia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini. Dia telah mengambil keputusan bahwa sebelum dia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, dia tidak akan memikirkan urusan cinta!
Setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, baru pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu birahinya berkobar lagi. Dia berani mencari wanita untuk memuaskan gairah nafsu birahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli mau pun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.
Tetapi hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia mendapat kesempatan karena biar pun sudah berpisah dari suhu-nya yang dia takuti, kini dia masih bersama suci-nya (kakak seperguruan). Sama sekali bukan dikarenakan dia takut pada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu.
Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapan dirinya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.
Pada saat berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu birahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Tapi celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian!
Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberi tahu mengenai keberadaannya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya! Dia pun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya, lalu dibunuhnya Yauw Sun Kok. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti yang telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk mendapatkan balas jasa.
Kalau mereka maju berdua, betapa pun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya.
Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu sedang mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.
Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata, “Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute.”
Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak.
Mereka mendekatkan perahu ke pantai, lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak.
Melihat wajah suci-nya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa suci-nya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya apa bila mereka sudah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lain pun yang mengusik mereka. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar-debar serta gairah nafsunya timbul dan berkobar.
Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biar pun gairah nafsu sudah mencengkeram dirinya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu pasti bahwa apa bila dia menggunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan suci-nya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali.
Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta pada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.
Gadis ini merasa heran melihat betapa sute-nya memandang kepadanya tidak seperti biasa, tetapi dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu menjadi terkejut sehingga dia tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya. Kecerdikan dan ketenangan pemuda ini menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sute-nya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan ia pun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.
“Yahhhh... aku pun gembira sekali, sute. Memang sangat indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanya pun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri sambil bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka dan memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. “Maafkan aku, suci, tadi aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sute-nya itu.
“Sute, kau... barusan bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...”
“Sute...!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena dia menganggap sute-nya terlalu berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”
Mendengar pengakuan sute-nya itu, wajah Bi Sian sebentar pucat dan sebentar merah. Memang dia sudah menduga bahwa sute-nya jatuh cinta kepadanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sute-nya sendiri, bermacam perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena dia menganggap sute-nya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak atau pun mengeluarkan kata-kata.
Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sute-nya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute...!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, aku melarang membicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar supaya ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku...”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku pun tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!
Hal ini meyakinkan hatinya bahwa suci-nya itu pun ‘ada hati’ padanya. Andaikan tidak, tak mungkin menunda waktu untuk menjawabnya. Bila gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak’, tentu ia tak akan menunda waktu. Jawabannya jelas ‘ya’, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Mulai saat ini nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega. Ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.
“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lhasa,” katanya.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Bong Gan tidak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat suci-nya marah atau jengkel…..
********************
Sejak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tiga tahun, tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat.
Pada waktu berusia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.
Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah akhirnya dia pun jatuh cinta kepada pria itu. Bahkan dia melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu.
Kemudian, hatinya kembali tersiksa karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali dia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apa lagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sejenak kembali dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walau pun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, alangkah pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong!
Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin dia menyalahkan adiknya jika dia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andai kata dulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!
Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Dia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan...?” Berulang kali Sie Lan Hong mengeluh dalam tangisnya.
Selama belasan hari dia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang!
Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong di dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia pun dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya?
Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.
Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Dia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang sangat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.
Ia hidup dalam kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.
Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan lebih dulu. Satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana dahulu suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa mempedulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang. Dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan mengenai suaminya pada kunjungan terakhir.
Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu. Mereka juga mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada waktu kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak bermalam di sini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok, lalu pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia juga membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, dan kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang...”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.
“Setelah dia minum agak banyak, dia memang mengomel dan mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tak suka melihat pemuda itu pelesir di sini, juga tentang kebenciannya terhadap seorang yang bongkok...”
Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”
“Pada saat dia masuk, dia bertemu dengan seorang kongcu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakah pemuda itu? Apakah dia... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal...”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu.
Tidak lama kemudian dua orang pelacur lainnya ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang lagi mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng, maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong kalian gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong, berusaha menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” berkata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka... suka mencium, hi-hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apa pun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya. Dia membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnya.
Dia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan pada waktu itu adiknya membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.
Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat dari Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, lalu memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah bukan main. Perjalanan itu benar-benar tidak mudah. Bagaimana pun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.
Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat dia merasa kesal, di samping tubuhnya juga merasa lelah. Untunglah bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, ia pun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri.
Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, juga dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar menjadi jeri. Sampai hampir sebulan dalam perjalanan, nyonya muda ini masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada dusun lagi sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Apa lagi matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya dia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Dia sudah memasuki daerah Tibet, dan dia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lhasa dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lhasa masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa tadi aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.
Dengan hati kecut ia pun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, mendadak dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang lelaki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan lukisan seekor kala putih yang menyeramkan pada bagian dada.
“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya... waw sexi banget!”
Sepuluh orang itu sudah mengepung dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan.
Walau pun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar-debar penuh rasa tegang dan gelisah. Akan tetapi, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!”
“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka. “Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.
Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlomba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia pun cepat mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.
“Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.
Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.
“Wah, pandai bermain pedang juga, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikkan tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.
“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan lebih dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai dia terluka!”
Mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong segera memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika nyonya muda ini kembali menerjang dengan pedangnya, mereka pun menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Trangggg...!”
Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini segera digunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira, lalu berlari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka bagaikan segerombolan serigala yang sedang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu tidak akan terlepas dari terkaman mereka.
Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik dia mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak cepat-cepat menangkap wanita itu. Lan Hong berlari terus, menuruti jalan setapak hingga ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong kemudian berlari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil itu dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.
Sepuluh orang pria itu masih terus mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Memang tempat yang enak untuk bersenang-senang!”
Lan Hong tidak mempedulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.
“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam.
Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang kedua bertubuh sedang saja, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka masing-masing nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya...”
“Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar.
Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan dia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Dia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk dapat melawan pengeroyokan sepuluh orang yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
“Heii, siapa kalian yang berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak salah seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang.
“Hemm, sudah lama kami mendengar mengenai gerombolan Kala Putih yang jahat dan ternyata kabar itu benar. Gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan kumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan dan malu untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!”
Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan ketika mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya dia hendak mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi dia pun membentak.
“Kalian ini dua orang bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!”
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, “Kami tak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!”
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet dan mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu. Oleh karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka.
Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek sambil membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong saat Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah para murid Kun-lun-pai, sepuluh orang berpakaian hitam itu menjadi semakin marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?”
Ciang Sun tersenyum mengejek. “Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak peduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!”
“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”
“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!” bentak Ciang Sun.
Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu.
Akan tetapi, para anggota Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka. Maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, mereka pun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sute-nya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka untuk menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebat dan sinarnya menyilaukan mata ketika tertimpa matahari sore.
Akan tetapi, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah. Kedua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulungan sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggota Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Dia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya sudah hilang ketika dia dikeroyok tadi.
Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu amat kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata.
Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diri pun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka!
Dia meloncat keluar dan langsung menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
“Bukkk!”
Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, dia membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu.
Melihat tindakan Lan Hong ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi dia hanya bersenjata sebatang kayu, sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semuanya memegang golok.
“Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan khawatir.
“Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya.
Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok membuat Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!
“Hati-hati...!” teriak Ciang Sun.
Pemuda bertubuh tinggi besar itu cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat ke kiri, merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, kemudian melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya.
Akan tetapi Lan Hong bangkit dan mengamuk lagi, tidak mempedulikan pahanya yang terasa nyeri. Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk bagaikan seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, “Tahan semua senjata!”
Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu cepat-cepat berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, “Toako datang...!”
Melihat para pengeroyoknya berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga telah meloncat ke belakang.
Wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya. Wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut. Akan tetapi dia nampak semakin manis, menarik dan gagah ketika dia berdiri tidak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu