KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-25


Sekarang, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Sejak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar Bongkok.
“Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian berdua)?” tanyanya ramah.
Bi Sian yang sudah tak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung berkata, “Kami ingin mengetahui mengenai seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, karena itu kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!”
Bagaimana pun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pendekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, dia pun merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maksud mereka mencari Pendekar Bongkok.
“Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apa antara ji-wi dengan Sie Taihiap?”
Sekarang Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Dia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh besarnya itu!
Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia pun mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
“Krekk! Krekkk!”
Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk di dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus lunak itu!
“Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!” kata Bi Sian, lirih.
Wajah pemilik rumah makan itu berubah menjadi pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!
“Saya... saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk...”
Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bongkok itu pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan seorang anggota Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.
“Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.”
“Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di sini?” tanya Bi Sian.
Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya. “Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua minggu setelah dia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana karena repotnya pekerjaan.”
“Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang juga!” kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian.
Pemilik rumah makan itu tak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan.
Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu berkedip kepadanya.
Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu pun ‘ada hati’ padanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!
Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi pada waktu mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi di situ!
“Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!” kata bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. “Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pamit.”
Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. “Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?”
Bibi Cili menggeleng kepalanya. “Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia selalu menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian, seminggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa pamit.”
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?”
“Pendekar Bongkok...? Ahh, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tak pernah lagi. Sejak meninggalkan adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.”
“Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?” Bi Sian mendesak terus.
Wanita setengah tua itu mengerutkan alis seolah mengingat-ingat. “Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu ialah seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai...”
Ketika menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut. Juga pemilik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
“Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?”
Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu... ahhh, aku tidak tahu...”
Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya. “Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu, nama yang sangat ditakuti seluruh penduduk Lhasa. Kami hanya dapat memberi tahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lhasa... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana...”
Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yang melarikan diri ke sana.
Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu!
Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu. “Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah mengenalnya.”
Bi Sian menyetujui pertanyaan sute-nya, karena jika mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!
“Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis. Kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa dia melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya...”
Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu birahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!
“Apakah ia seorang gadis Tibet?” tanyanya.
“Ia peranakan Tibet Han,” jawab bibi Cili.
Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu.
“Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!” kata Bi Sian penuh semangat.
Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus membayanginya.
“Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan juga di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tidak menguntungkan kalau kita meninggalkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Baiklah, kita mencari rumah penginapan,” kata Bi Sian singkat.
Dia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa ‘adik angkat’ pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka…..
********************
Di sebelah selatan kota Lhasa terdapat sebuah telaga yang terkurung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang.
Apa lagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Semakin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) memang amat ditakuti.
Menurut kabar angin, Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang dulu pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lhasa, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet.
Karena tak ada bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apa lagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apa pun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu.
Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama adalah seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiri pun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama pula!
Kim Sim Lama merupakan orang kedua paling berkuasa dan berpengaruh setelah Dalai Lama. Oleh karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih.
Dalai Lama yang baru itu hanya seorang anak dusun saja, akan tetapi memiliki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak.
Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek Thian Siansu, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau juga suheng dari Pek-sim Siansu, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini kemudian bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Siansu berhasil merobohkan bahkan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Siansu sudah berusia hampir delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya tak lagi terjadi keributan. Akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai Lama, dan telah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya.
Banyak korban yang jatuh sehingga para tosu itu segera pergi meninggalkan Himalaya dan mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa lalu menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, dan setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang akan berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya.
Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana!
Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri, kemudian membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud untuk menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing supaya para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah.
Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu bersama pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan mereka merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal.
Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lhasa, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang sangat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, dia pun tidak tergesa-gesa.
Di samping usaha yang dilakukan oleh anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga Kim Sim Lama mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lhasa untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba, dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet.
Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, apa bila Kim Sim Lama telah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!
Kim Sim Lama mempunyai banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet! Dan seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang telah melarikan diri dan mengungsi ke pegunungan Kun-lun.
Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, tetapi terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama baik Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat bagaikan terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so dan menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki ginkang dan ilmu berlari cepat yang hebat.
Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau sudah melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, barulah nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Sesudah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lhasa tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan dengan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah ia akan nama Kim Sim Lama yang dulu pernah didengarnya dari pengakuan salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya.
Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu, orang ke tiga Tibet Sam Sin-to itu, tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibantu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab.
Yang berani menjawab hanya mengatakan dengan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit di dekat Telaga Yam-so. Makin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya sudah benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera ia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit!
Kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggang keledai atau kuda. Tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa. Nampak pula bahwa mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam dia pun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat, agaknya ke sebuah kuil untuk bersembahyang.
Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok sebuah benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang amat luas. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan pintu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: ‘KUIL HATI EMAS’.
Kim-sim-tang? Apakah di sini pusatnya Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Benar-benar di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti seharusnya tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera teringat bahwa andai kata pun benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah para pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan selalu mendekatkan diri dengan kebajikan.
Mereka pun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pemberontak biasa yang umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah terbiasa menggunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan di luar kuil. Setelah dia melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup.
Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas, penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, akan tetapi kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji.
Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata. Mereka itu kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu penuh tamu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya seorang pun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pendeta Lama memang sangat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siauw-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apa lagi wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang untuk bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang tidak akan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga sangat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu.
Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu dalam keadaan tertutup dan terkunci. Memang pintu itu tidak ada hubungannya dengan keperluan sembahyang.
Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika dia mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di sana terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan masuk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini.
Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
“Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu.” Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.
Sie Liong membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada.
Sudah mendaki bukit dan berkunjung ke kuil namun tidak sembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya untuk bertemu dengan Tibet Ngo-houw.
“Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,” jawabnya tenang.
Memang dia tidak bermaksud untuk bersembahyang. Tadi dia sempat melihat di bagian kiri ruangan itu, dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
“Ahh, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasib pun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal dari pada kalau membeli di toko,” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima kasih,” kata Sie Liong.
Dia pun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor.
Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, harus memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang yang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban atas pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andai kata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan kembali memilih. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.
Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu kemudian memberinya sehelai kertas yang telah ada tulisannya.
Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan minta sesuatu. Karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud yang tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walau pun baru kini dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya.
Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK PINTU SELATAN PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka memandang pada pendeta yang melayaninya. Akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini mempunyai perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sekali sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan sekarang keinginannya sudah diketahui oleh mereka!
Dia pun segera keluar dari kuil itu, keluar lewat pintu gerbang pagar tembok kemudian mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin sudah tahu pula akan maksud kedatangannya, dia pun tidak perlu lagi berpura-pura. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, dari pada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.
Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong lalu menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, bagaikan sebuah perkampungan saja.
Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggota perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Liong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usianya sekitar lima puluh tahun.
“Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu sudah menanti di dalam,” kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.
Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan. Bagaimana pun juga, dia telah tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur kembali.
Maka, sambil mengucapkan terima kasih, dia pun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui sebuah taman yang indah. Ketika melewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan dia pun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya.
Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tidak mungkin dia salah dengar.
Dua orang pendeta Lama itu membawa Sie Liong ke sebuah ruangan yang luas sekali. Paling sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang. Di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama sedang duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya.
Dua orang pendeta yang mengantarnya itu lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biar pun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu!
Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan masih mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya.
Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka merah kekanak-kanakan, berjubah merah serta memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, dia pun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjulukan Kim Sim Lama!
“Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan memiliki julukan Pendekar Bongkok?” kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut.
Pada saat pendeta itu berbicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar. Wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar dan matanya mengandung wibawa yang sangat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukanlah orang sembarangan dan akan menjadi lawan yang sangat berat. Akan tetapi dia kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan orang itu.
“Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan ada pun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.”
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka dia pun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.
“Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dan bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tanpa bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
“Hemm, orang muda. Jika engkau tak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau telah menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lhasa?” Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi.
Sekarang Sie Liong merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap tenang. “Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapa pun juga, apa lagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu terjadi karena saya ditekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah cara pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari mana pun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, saya harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!”
Karena dia tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
Mendadak terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. “Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!” Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet itu.
Mendengar seruannya ini, keempat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!
“Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan para tosu dan pertapa dari Himalaya yang kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.”
“Omitohud... alangkah lancang dan sombongnya anak ini!” Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru.
Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
“Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak cukup pantas dilayani oleh para suheng berlima!”
Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena mereka pun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda, yang bongkok pula. Hanya akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan dia pun merupakan seorang di antara ‘dua belas besar’ yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw, juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih.
Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka mereka yang dianggap menjadi pembantu-pembantu utama. Karena itu kedudukan mereka berlima sedikit lebih tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.
Pada saat Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia sudah terjebak, memasuki goa harimau yang berbahaya sekali.
Bagaimana mungkin dia yang hanya seorang diri bisa menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundur pun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar sudah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.
“Sie Liong!” Ki Tok Lama membentak, “Engkau masih bocah ingusan tapi sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau sudah berani menghina para suheng-ku Tibet Ngo-houw pula! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!”
Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.
Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak orang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, namun diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan.
Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya sudah menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong memberi hormat, kemudian berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. “Losuhu, maafkan saya. Kedatangan saya ini untuk berbicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapa pun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai...”
“Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?”
“Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apa pun untuk menyambut tantangan ini.”
“Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!”
Ki Tok Lama tak mempedulikan semua alasan Sie Liong. Tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan. Tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan oleh karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram tepat ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
“Hyaaaaattt...!” Dia mengeluarkan pekik melengking.
Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut! Dia pun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki ginkang yang tinggi. Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah dia pun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput.
Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuhnya turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kali ini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan dan kiri.
Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur.
“Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama tidak peduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
“Haiiiiiitttt...!”
Dia menyerang lagi, sekarang dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai yang melompat-lompat, dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
“Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sie Liong berkata, suaranya semakin keras.
Namun jawabannya adalah serangan yang lebih ganas.
Sie Liong merasa serba salah. Apa bila dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tidak mungkin jika dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan.
Padahal sekarang dia berada di dalam sarang Kim-sim-pai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu