KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-18


Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat. Menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.
Maka, begitu Sie Liong melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam. Dugaan Sie Liong memang tepat sekali.
Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, di dalam sebuah hutan, terdapat sebuah bangunan kayu yang nampak masih baru dan cukup besar. Bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan ini, dari dalam rumah itu kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan para wanita, disusul hardikan yang menghentikan suara isak tangis itu.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Para gadis itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu.
Karena mereka selalu dihardik dan diancam bila menangis, maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib.
Selama mereka ditawan itu, mereka tak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu, bahkan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, dia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu. Meski hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok itu, tapi dia tidak berani mengambil resiko untuk terus melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, dia disambut teguran tidak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.
Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda. Pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih dengan dasar warna hitam. Biar pun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar. Wajahnya penuh dengan kelicikan sedangkan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.
Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Tiga laki-laki ini memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan berlagak laksana jagoan.
Orang ke lima adalah siluman merah sendiri, kini dia sudah menanggalkan topengnya. Apa bila Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tak akan lebih dari dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati sangat puas dia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di pinggir telaga Co-sa sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subo-nya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subo-nya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai Yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai Yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai Yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemmm, dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaianku. Engkau cobalah dia, Thai Yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai Yang Suhu!”
Wajah serta sikap pria berjubah pendeta itu sudah sangat menarik perhatian Pek Lan, karena itu mendengar kata-kata subo-nya, ia pun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai Yang Suhu. “Paman, silakan!”
Thai Yang Suhu tertawa bergelak, dan ternyata gigi-giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau adalah seorang keponakan yang mengagumkan,” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, pinceng ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”
Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sinkang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.
Thai Yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.
Akan tetapi, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, lalu ia pun membalas dengan serangan bertubi-tubi. Ia mengerahkan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai Yang Suhu.
Biar pun mulutnya tertawa, akan tetapi dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan tangkisan dan elakan. Walau pun yang sedang menyerangnya hanyalah seorang wanita muda, akan tetapi serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.
Gadis itu pun tidak mau memberi hati. Ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu diam-diam harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak saja pendeta itu lenyap dari pandangan mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi Pek Lan kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng di sini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subo-nya itu. Dia segera membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai Yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat-cepat menarik tangannya sambil mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai Yang Suhu kelihatan kembali.
“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak berani...”
Thai Yang Suhu tertawa dan dia kembali berubah menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.
“Thai Yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihatlah, dia pandai sekali ilmu sihir! Kini dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku akan wakilkan padamu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya. Dia merasa menyesal mengapa subo-nya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh dia yang mewakilinya. Jika subo-nya yang memerintahkan, tentu saja dia tak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan menurut pinceng hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun di mana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku...?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai Yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”
Guru itu mendesak sedemikian rupa sehingga tak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
“Paman Thai Yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?”
“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh itu kepadaku.”
Mendengar permintaan ini, kedua mata Thai Yang Suhu lantas terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu kemudian menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan dia pun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang sungguh cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apa lagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, dan masih keponakanku sendiri pula yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi. Pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir padamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”
Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai Yang Suhu!”
“Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai Yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai oleh banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”
Mendengar ucapan subo-nya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya lalu berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subo-nya. Akan tetapi, apa bila benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu, ia pun tidak berkeberatan!
Demikianlah, sejak saat itu Pek Lan membantu Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dengan ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu, mulai menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai Yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu.
Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan ia pun secara suka rela menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan ia pun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu sangat perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.
“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal hanya karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan sangat memalukan!” Demikian berkali-kali Thai Yang Suhu menegur pembantunya, yang juga merangkap kekasihnya itu.
Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut. “Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang sangat lihai. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami bahkan belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?”
Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya pula. “Hemm, tentunya si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama ia berada di sana dan menghasut para penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk bisa memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, ehh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”
“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sin-to (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai Yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sin-to segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu ia berkata dengan suara lantang, “Sam Sin-to, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biarkan aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”
Tibet Sam Sin-to tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!”
“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat supaya jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,” kata Thai Yang Suhu.
Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Thai Yang Suhu.
Anak buah ini adalah juga seorang anggota Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik. Dia pun memiliki ginkang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat, anak buah itu kemudian bercerita. “Tak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Losuhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tidak ada seorang pun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”
“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai Yang Suhu tak sabar.
“Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi sekarang penduduk melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.”
“Hemm, aku tidak takut! Mari sekarang juga kita berangkat mencari si bongkok itu di rumah penginapan!” kata Pek Lan gemas.
“Tidak,” bantah Thai Yang Suhu. “Sudah kukatakan bahwa semua harus menggunakan rencana serta siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita akan usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha, justru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sin-to yang akan menghadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau yang menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”
Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinya pun merasa tenang. Kalau Thai Yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu.
Malam itu Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai Yang Suhu. Pertama untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, dan ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan membantunya.
Untuk memberi tanda darah pada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw yang cekatan dan pandai menyamar…..
********************
Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Walau pun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik.
Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka, meski dia melangkah dengan tenang, dia tak pernah lengah sedetik pun. Mata dan telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya.
Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerak-geriknya sudah diikuti oleh beberapa pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi telah kelihatan oleh anak buah Thai Yang Suhu yang segera melapor kepada pendeta Pek-lian-kauw itu.
Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan sekarang sedang mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai Yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri. Dia lalu berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to, mengatur siasat.
Thai Yang Suhu, walau pun nampaknya seperti seorang pendeta, akan tetapi dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak sungkan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya.
Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok itu sangat pandai, kenapa tidak diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa pemuda itu dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya di dalam hutan itu. Pada waktu membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, mendadak saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga.
Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tidak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernihnya, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya. Demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan yang berenang hilir mudik.
Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak sedemikian jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itu pun nampak. Tak ada angin yang menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.
Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!
Wanita itu masih muda, tak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur. Dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang masak dan padat.
Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan pula sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong bisa melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat dia menjadi semakin menarik.
Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan terpesona, Sie Liong sekarang menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepantasnya, memandangi seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah. Dia pun cepat membuang muka, bahkan kemudian berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.
“Heiiiii...!”
Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memandang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut, lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Sekarang gadis itu berdiri sepinggang di dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.
“Heii, siapa kau? Apakah kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!”
Kedua pipi Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi.
Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila. Sudah tidak malu dilihat oleh pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.
Kini terdengar gadis itu kembali berbicara, dan nada suaranya sangat menyesal penuh teguran. “Engkau ini orang macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong ini! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?”
Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walau pun dugaan ini dia bantah sendiri.
Tidak mungkin! Siluman merah itu seorang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanyalah seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andai kata dia bukan siluman merah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.
“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”
“Hi-hi-hik-hik!” Gadis itu tertawa. Suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.
“Kiranya kau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat? Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keaslian dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian lebih dahulu. Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya lalu mencuri-curi, hi-hi-hi!”
Sie Liong merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan walau pun matanya tidak melihat, tetapi pendengarannya yang tajam dan terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang kini benar-benar sedang mengenakan pakaian.
“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!”
Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahwa gadis itu kini telah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walau pun manis dan amat memikat, namun mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.
“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andai kata bisa pun, kepandaiannya tentu masih rendah sekali.
Ketika dari batu terakhir dia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan dia pun jatuh miring di atas tanah.
“Aduhhhh... aduh, kakiku... sakit...!” Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuh kakinya di tumit, juga tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekali pun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini.
Tadi dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapan, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.
“Aduh, tolong...! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhhh...!”
Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, kemudian menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tak menaruh curiga dan seperti orang yang benar-benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu.
Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong. Dia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat dia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar serta tubuhnya tergetar karena betapa pun juga, darah mudanya bergejolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka dia pun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya.
Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya. Dengan jari-jari terbuka, tangan itu cepat menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah menggunakan pukulan maut!
“Huhhh...!” Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
“Hyaaaatt...!”
Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher. Namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur sambil tangannya menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!
“Hemm, keji sekali...!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itu pun luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu dia berkata dengan nada suara mengejek. “Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!”
Pek Lan memandang dengan kedua mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemikian lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Padahal dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
“Bagaimana... kau bisa tahu…?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang mempunyai ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.”
“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!”
Sambil berteriak demikian, Pek Lan kemudian menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi.
Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu kini berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula. Diam-diam ia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat.
Maka, dia pun cepat mengerahkan sinkang-nya. Sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang sangat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja karena semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat!
Dan bila pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia makin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sinkang-nya kalah kuat.
Juga penggunaan hawa beracun agaknya tiada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar, bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai Yang Suhu padanya. Maka diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera. Pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan bagaikan menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”
Sie Liong terkejut sekali ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Siansu, bagaimana cara menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat.
Maka dia pun cepat menahan napas sambil mengerahkan khikang sehingga pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum, kemudian pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan gembira bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka ia pun lalu menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.
“Haiiiittt...!”
Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan langsung melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main.
Pek Lan cepat meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya sudah memuncak. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Betapa pun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu.
Sekarang, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan permainan pedang yang cukup berbahaya, dia pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening.
Pek Lan merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.
“Hentikanlah seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kau culik, maka aku akan memaafkanmu!” Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk.
Pada waktu pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.
“Tukkk!”
Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi, dengan gerakan memutar dia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!
“Ihhhh...!”
Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut, tetapi karena malu.
Akan tetapi baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena sekarang Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan.
Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun dia masih merasa penasaran, apa lagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.
Benar saja! Ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sin-to yang semenjak tadi hanya mengintai sambil menonton saja. Mereka baru muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai Yang Suhu.
Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isyarat kepada Tibet Sam Sin-to untuk maju membantu.
Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakannya aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan juga bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak.
Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh.
Pada saat mendengar bunyi berkeresek di atas sebuah pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana tadi terdengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Orang itu ternyata adalah seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai Yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.
“Dukkk!”
Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon.
Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangan Sie Liong menyambar sebatang ranting sebesar lengannya. Ranting itu patah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong sesudh dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur.
Di lain pihak, Thai Yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika menangkis, dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Biar pun pemuda bongkok itu dapat dipaksa meloncat turun, dia sendiri pun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa tadi pemuda itu mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ilmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sinkang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh kelima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw. Mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.
Dia sudah sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana sering kali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu birahi.
Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah. Bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, namun mereka juga akan dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
“Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!” kata Sie Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai Yang Suhu yang kini tak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.
“Orang muda, siapa engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami? Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai Yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sin-to, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?”
Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini barusan menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!
“Thai Yang Suhu, engkau adalah seorang yang berpakaian pendeta, namun ternyata kependetaanmu itu hanya kedok belaka, bagai serigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, dan tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak memiliki permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian sudah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan aku pun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!”
“Bocah bongkok keparat sombong! Toa-suhu, mengapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!” bentak seorang di antara Tibet Sam Sin-to dan mereka bertiga sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai Yang Suhu memberi isyarat agar supaya para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.
“Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!”
Sungguh hebat! Benda yang dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu