KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-19


Terdengar suara keras dan naga itu pun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai Yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja!
Thai Yang Suhu terbelalak, menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu lantas hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak, maka ketika dipungut oleh pemiliknya, langsung menjadi hancur berantakan.
Thai Yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang dahsyat ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu Pek Lan juga menggerakkan pedangnya, berbarengan dengan Tibet Sam Sin-to yang sudah pula ikut menggerakkan golok mereka.
Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali ia memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya!
Lima orang yang sudah siap menyerang itu, bahkan sudah menggerakkan senjata, amat terkejut ketika tiba-tiba saja melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis. Mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia.
Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal sebatang tongkat.
Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan sangat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar pun masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar mempunyai kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka pun segera mengepung dan mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan lima orang yang semuanya memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan ia pun telah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Pek-sim Siansu. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main.
Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka angin pun menyambar-nyambar begitu dahsyat bagaikan badai, sehingga nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai Yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang sangat hebat! Walau pun dia sendiri maju, dibantu pula oleh Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sin-to, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu.
Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus yang bekerja secara bergantian. Setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.
Thai Yang suhu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang sangat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, tentu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, dia pun membentak agar para pembantunya minggir.
“Minggir semua, biar pinceng sendiri yang menghadapi Pendekar Bongkok!” bentaknya.
Mendengar ini, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to lalu berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga pendeta gundul tinggi besar itu kini sendirian saja berhadapan dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri tegak menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.
“Thai Yang Suhu, tadi sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, jika kalian membebaskan gadis-gadis yang sudah kalian tawan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka aku pun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian juga tidak mengulang perbuatan jahat itu.”
“Pendekar Bongkok, apa kau kira pinceng takut kepadamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir supaya pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!”
“Hemmm, Thai Yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu,” jawab Sie Liong sejujurnya.
“Wah! Kiranya murid para tosu pelarian dari Himalaya!” seorang di antara Tibet Sam Sin-to berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai Yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Himalaya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Siansu membuat dia terkejut.
Pantas saja pemuda bongkok ini tidak hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan sudah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Bagaimana pun juga, Thai Yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jeri.
“Bagus, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!” Sambil berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong.
Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya sehingga semua jarum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
“Pendeta palsu yang licik dan curang!” bentak Sie Liong.
Dia pun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyat dari kanan ke kiri, mengarah pada pinggang lawan. Thai Yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanannya menyambar dari atas ke kepala Sie Liong sedangkan pedang kirinya menangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Maka terjadilah perkelahian yang sangat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai Yang Suhu menyambar-nyambar, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Akan tetapi dua gulungan sinar itu sering kali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang bagaikan seekor naga hijau yang bermain di angkasa.
Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok adalah ilmu tingkat tinggi yang tidak mampu dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Lagi pula, gerakan pendeta itu kalah cepat dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sinkang, pendeta itu juga kalah kuat.
Kelebihan Thai Yang Suhu hanyalah pada pengalaman bertanding saja. Di samping itu, Sie Liong bersikap hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak sehingga membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.
Betapa pun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan. Mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sulit sekali bagi Thai Yang Suhu untuk bisa mengalahkan Pendekar Bongkok.
Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat langsung berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai Yang Suhu diam saja karena dia pun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai Yang Suhu dan Pek Lan.
Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sin-to, maka permainan kedua orang lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang. Mereka berdua itu tak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu.
Hal ini membuat gerakan Sie Liong semakin hebat. Dia pun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sin-to yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri.
Akan tetapi hal ini, hal yang sama sekali tak disangkanya, ternyata memang benar telah terjadi. Dan kesalahannya memperkirakan ini akhirnya harus makan korban!
Ketika itu, ia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang sehingga dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam.
Oleh karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.
“Trang...! Trangggg...!”
Bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.
“Ihhhhh...!”
Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pedang tergetar hebat, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai Yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangannya sehingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali.
Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja luar biasa berbahaya bagi Pendekar Bongkok!
Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, dia pun maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang melindungi tubuhnya.
Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sin-to roboh!
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat!
Tentu saja Pek Lan tak mungkin sempat melakukan pemeriksaan untuk dapat memberi pengobatannya, bahkan dia pun sama sekali tidak memusingkan keadaan kedua orang rekan ini. Hal itu bahkan membuat ia menjadi makin marah kepada Pendekar Bongkok sehingga kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya. Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok, apa lagi kini berkurang dua.
Gerakan tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat. Ketika salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to yang masih hidup serta merasa berduka dan marah karena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkatnya, juga sambil mengerahkan tenaganya.
“Trakkk...!”
Golok itu patah dan terlepas. Sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat dielakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.
“Bukkk!”
Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai Yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jeri. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah.
Nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala macam senjata, sedang berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap penuh ancaman!
Melihat keberanian para penduduk ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia sudah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang sekarang agaknya berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk membasmi siluman! Sebaliknya, Thai Yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata Thai Yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai Yang Suhu.
“Hemm, kalian hendak lari ke mana?” Pendekar Bongkok membentak dan dia pun cepat meloncat untuk melakukan pengejaran.
Akan tetapi, tiba-tiba Thai Yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong segera menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to telah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh.
Melihat Pendekar Bongkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku...”
Pendekar Bongkok adalah seorang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapa pun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Siansu, ia tahu bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Batin yang sakit itulah yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat. Jika batinnya telah sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat.
Maka, melihat betapa salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to itu minta ampun, dia mengangguk. “Siapa namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, maka ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan kenapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai Yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu semua dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak akan berani berbohong.
“Ada satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sin-to, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di mana mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. “Tidak, taihiap... aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan...!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.
“Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega. “Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ahh, di mana kini mereka itu?”
“Mereka di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung. Bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada waktu itu, para penduduk dusun sudah datang semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai Yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami... jangan... jangan ganggu kami...!” kata seorang di antara mereka.
Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu cantik-cantik dan masih amat muda, dan kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, dan mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Dia teringat akan bongkoknya, dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia adalah seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya sudah dijebol Sie Liong. Mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu sedang memandang ketakutan.
“Ayah...!” teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain.
Ternyata para ayah dari gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu segera dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!” Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang.
Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka mereka pun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Salah seorang di antara para gadis itu menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadi pun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tak ada seorang pun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut.
Dia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, kau kenapa?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Sie Liong segera menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
“Nona, bangkitlah, tak perlu berlutut. Kenapa engkau menangis? Bukankah seharusnya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?” Mendadak dia merasa curiga jangan-jangan gadis ini telah mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, dia berkata, “Aku... aku tidak mau pulang... ke rumah mereka...”
“Kenapa, nona? Di mana rumahmu?” tanya Sie Liong.
Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, kemudian mendekat dan berkata, “Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?”
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?” tanya Sie Liong.
Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia adalah seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik padanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata, “Tidak..., tidak... aku tidak mau pulang ke sana... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana...!” Dan ia pun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan yang kuat sekali sehingga gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita berbicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja supaya jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.”
Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar. Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas sebuah batu besar.
“Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati dari pada pulang ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, hanya berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku bersama teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolongku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolong diriku, dan aku akan menceritakan keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah supaya engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit...”
Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walau pun ia sudah tidak menangis lagi.
“Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak memiliki anak. Sekarang mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walau pun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Aku pun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini...” Ling Ling menutupi mukanya, hatinya merasa sedih dan berat untuk menceritakan peristiwa yang membuat dirinya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu sejenak, dan setelah kelihatan agak tenang, ia berkata, “Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongmu bila aku sudah mengetahui persoalannya.”
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
“Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang. Harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, sejak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk... untuk menodaiku...”
Sie Liong mengerutkan alis. Dia mengamati wajah itu dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.
“Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia... dia mula-mula merayuku... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku...! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan ia pun menjadi cemburu dan membenci aku...”
“Hemmm...!” Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya. Ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lama. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, lalu ia pun menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar sebagai siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa girang untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?”
Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang bagai setangkai bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran?
Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Aku sebatang kara...,” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu engkau hendak pergi ke mana, Ling Ling? Jika engkau tidak memiliki keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagai mana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, “Aku ingin turut denganmu, taihiap...”
“Ehhh?” Sie Liong terkejut dan heran bukan main.
Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambut pun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.
“Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan... aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu...”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Ia pun kini yang memandang bengong.
Pendekar itu tertawa bergelak dan alangkah gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang selalu menimbulkan perasaan iba kepada siapa pun yang memandang, kini nampak cerah dan berseri!
“Aihh, Ling Ling... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Liong setelah menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas kupuja dan kubalas budinya...”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau malah hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke mana pun engkau pergi. Aku tidak peduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkau pun sebatang kara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal. Taihiap, kasihanilah aku...”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya maut pun tak akan membuat aku gentar, taihiap. Aku pun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia?
“Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan... di atas rumput...”
“Hemm, tentu menyenangkan sekali, taihiap. Apa lagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan amat nyaman untuk tidur...”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar...”
“Ahh, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas...”
“Ling Ling...” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak dan tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang-orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka.
Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. “Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega. “Aku juga... ti... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Ling Ling, maafkan aku. Bagaimana pun juga, rasanya tidak mungkin jika engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata-kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Apa bila kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang? Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu padamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik...”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajak engkau berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat... tinggal...” Dan gadis itu pun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat. Matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya.
“Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Aku pun tidak tahu...” dan ia pun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu.
Dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, kemudian sedikit bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu.
“Ling Ling...” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja... ahhh, biarkan aku mati saja...” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan dua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri. “Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. “Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih...! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ahh, aku bahagia sekali, terima kasih, taihiap... terima kasih...”
Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu sudah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Lalu mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali. Mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian bisa mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri.
Mereka pun bubar dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat. Di dusun itu nama Pendekar Bongkok lebih dikenal dari pada nama Sie Liong. Mereka tidak akan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai siluman merah, penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,” demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.
Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak mempedulikan gadis yang berjalan di belakangnya itu, bahkan kadang-kadang dia sengaja melangkah lebar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya.
Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan dia mendengar pula betapa pernapasan gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikit pun Sie Liong tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh.
Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikit pun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri-seri dan penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.
“Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biar pun untuk itu aku harus berkorban nyawa...” tiba-tiba dia cepat menyambung kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, “... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!”
Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, tapi dalam kesederhanaan, ternyata ia cerdik juga.
“Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat bahwa engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.”
“Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling Ling gembira.
“Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, “Bagaimana pun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit.”
Ling Ling mengangguk, nampak hilang kagetnya. “Baiklah, Liong-ko.”
Mereka pun pergi menuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang pada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apa lagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok.
Ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya kepada Ling Ling dan mulutnya langsung mengeluarkan makian.
“Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!”
“Dasar anak tak tahu diri, tidak mengenal budi!” bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, sekarang tidak membalas budi malah melempar kotoran ke rumah kami!”
Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir. Matanya membayangkan wataknya yang kurang baik.
Ada pun wanita itu beberapa tahun lebih muda. Tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, dengan muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh ia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
“Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik...”
“Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!” habis berkata demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong.
Apa bila menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Namun dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, lalu memuntirnya dan mendorongnya.
Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, berteriak mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar telah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan.
Akan tetapi, sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.
“Berani kamu memukul orang...?”
Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu