KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-09


Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, mau pun pakaiannya. Jelas ia adalah seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara ia duduk menghadapi kitab di atas meja itu pun telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang dapat meresapi benar akan isinya. Sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar, akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang hartawan yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, saat terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorang pun mengakuinya sebagai anggota keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang.
Semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya saja Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu merupakan anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat. Coa Hun sendiri baru berusia empat puluh dua tahun ketika membawa Bong Gan pulang.
Oleh karena itu, biar pun Bong Gan amat disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggap ia bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe. Sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han.
Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak. Anak itu sendiri tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, sudah mendatangkan rasa iri hati.
Banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau Boangana!
Bong Gan kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, serta bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali. Tubuhnya juga selalu dirawat baik-baik, mulai dari rambutnya sampai kuku kakinya. Di setiap penampilannya, ia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biar pun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggota keluarga ayah angkatnya yang hatinya merasa iri dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali.
Malam itu, biar pun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu. Ini berarti bahwa meski ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok. Ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walau pun perasaan iri itu hanya mereka simpan di hati saja. Pengaruh selir muda ini terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti akan membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikit pun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan.
Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya. Namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isyarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, meski usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia pun banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga kini ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan dia pun merasa amat suka kepada wanita itu.
Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya. Dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri.
Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun, akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ahh, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengar sebutan itu...”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, walau pun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum. Hatinya gembira sekali karena wanita cantik itu bersikap begitu manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya sedang tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu.
Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, ternyata Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya, lalu ia duduk di atas pembaringan.
“Biarlah aku duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini...?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya.
Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa ia bangkit dan menghampiri, kemudian membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya lagi untuk menanyakan huruf yang tidak dia kenal sehingga beberapa kali pula pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ahh, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku saja. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di pembaringan itu. Walau pun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aihh, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci... aku... aku tidak berani... nanti dianggap tidak sopan...,” kata Bong Gan gemetar, walau pun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aihh, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan dia pun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan sehingga Bong Gan bisa merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apa lagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau, dan akhirnya buku yang tadi dibaca oleh Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan, sedangkan di atas pembaringan itu Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang pandai dan taat.
Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan karena perjodohannya dengan Coa-wangwe dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan.
Sebaliknya, sejak kecil Bong Gan memang haus akan kasih sayang, dan kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, dia pun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga dia pun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga sangat hina karena dia sudah berjinah dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, lalu ke sekian kali, ke sekian puluh kali dan mereka berdua yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.
Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi amat terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut sekali mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, kemudian dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba saja ia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjinah dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.
Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur supaya hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar. Dan pada waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan alangkah kaget dan takutnya perasaan Pek Lan serta Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biar pun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya, betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka.
Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat dalam otaknya siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya. Dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan di punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali, kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumahnya tanpa diberi bekal secuil pun pakaian pengganti atau sepotong pun uang kecil.
Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit akan tetapi hati lebih sakit lagi, Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu. Mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng.
Berita mengenai diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung itu dibandingkan orangnya, tentu saja karena disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka mereka, sebab semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam sudah menjelang pagi dan mereka berdua masih berjalan terus di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biar pun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir bila ada orang-orang yang mengejar dan memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah sebuah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darah pun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, tanpa diketahuinya, kata-kata hiburannya itu bahkan membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua mala petaka yang kini menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan jari telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah yang menjadi penyebab mala petaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahhh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu...!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tak tahu malu. Engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!”
“Apa?! Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit berdiri.
Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan dia pun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan di dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat untuk memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan yang menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling.
Hal ini berarti bahwa nenek itu sudah membantunya. Maka, biar pun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!
Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling tadi. Dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang pada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi perasaan seram.
Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari pada tujuh puluh tahun. Tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat tubuhnya mengkerut dan kering.
Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh dengan garis malang-melintang, dan sepasang matanya sampai hampir tertutup karena kelebihan kulit pada pelupuknya. Tulang-tulang pipinya menonjol, dan hidung serta mulutnya sangat kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tidak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi.
Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi oleh pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, namun sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang amat mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk pada saat melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Mendadak tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, dan tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa dia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
“Ceritakan, mengapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biar pun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan seorang manusia luar biasa, atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka dia pun menjawab sambil menahan tangisnya.
“Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan. Saya barusan diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar supaya aku membunuhnya?”
Bulu kuduk Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimana pun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biar pun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan. Ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya bersiap-siap untuk melawannya.
“He-he-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya, kemudian nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya masih tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho... sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara!
Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka dia pun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Tolooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, harap jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu.
Dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyambutnya sehingga tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi dari pada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing sedang digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan dia pun bertepuk tangan sambil bersorak. Lupalah dia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun kepadaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini agar supaya menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup dua matanya rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Kemudian, tubuh itu tidak lagi meluncur ke bawah, melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat ada seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya sedang dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek tua itu? Mana aku berani? Dia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)...! Hiiiih... aku ngeri melihatnya...” Dan kakek gembel itu bergidik kengerian.
Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jeri terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan kedua tangan terkepal. “Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai, lalu menoleh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”
Di sini telah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh? He-heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut.
Tiba-tiba dia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr... takkkk!”
Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian.
Nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, kedua matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.
Koay Tojin menyeringai pula. Dia tadi tidak berpura-pura ketika kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis itu, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotong pun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi’ bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ejekan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang sangat aneh. Dia melontarkan tongkat ularnya ke atas, dan tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan dia pun lalu melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kini pun ‘hidup’ dan melawan tongkat ular itu.
Terjadilah pertandingan yang luar biasa aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat’ tanpa ada yang memegangnya, tapi saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya itu tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu kemudian mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil’ kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali. Dia melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, maka ia pun segera meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!
Walau pun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun, sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, akan tetapi Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, semenjak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri.
Maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Dia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan serta tamparan, akan tetapi dia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian bahkan semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek, tolong aku... tolooooonggg!”
Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Pada mulanya, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main.
Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun. Selain itu, tenaga nenek keriputan itu juga kuat, sedangkan kecepatan gerakannya juga membingungkan.
Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suheng-nya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut. Maka, ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri.
Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh...!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi...!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan dan kakek gembel itu, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe yang mulia... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid...!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“He-he-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu kini menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan...,” anak laki-laki itu menjawab sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah angkat telah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencuri adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.”
Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik bukan main. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja... saya sudah tidak memiliki seorang keluarga pun, dan saya takut kalau... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi dan membunuh saya...”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau memang perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis biar pun menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau mempedulikannya.
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!”
Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu kaget bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apa lagi bila pukulan itu mengenai kepalanya.
Dia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Sekarang punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.
Akan tetapi, anak yang amat cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka dia pun menggigit bibir. Biar pun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pun pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. “Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam dia pun mulai suka kepada bocah itu.
“Mari kita pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Tadi dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tak kepalang dan sekarang kakek gila itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!
Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatang kara dan selalu terancam bahaya.
Ia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Ia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!
Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat di mana kakek tadi berdiri. Dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuhnya terasa nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram.
Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang akhirnya tidak kuat bertahan lagi dan dia terguling roboh. Pingsan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu