KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-12
Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara
menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan
menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong
. Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit.
Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua lutut, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Mengapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya.
Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apa bila kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali berbisik sambil memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata.
Sie Liong membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.
Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada.
Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah seorang pemuda yang berbahagia…..
********************
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”
Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua.
Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.
Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk.
Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...”
Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”
Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir saja...”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.
Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut.
Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur…..
********************
Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh tambalan.
Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.
Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.
Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.
“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.
Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!
Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya…..
********************
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?
Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang.
Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.
Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”
Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”
Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”
Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!
Apa yang telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.....
Dengan tubuh lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong
. Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit.
Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua lutut, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Mengapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya.
Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apa bila kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali berbisik sambil memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata.
Sie Liong membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.
Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada.
Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah seorang pemuda yang berbahagia…..
********************
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”
Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua.
Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.
Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk.
Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...”
Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”
Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir saja...”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.
Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut.
Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur…..
********************
Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh tambalan.
Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.
Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.
Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.
“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.
Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!
Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya…..
********************
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?
Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang.
Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.
Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”
Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”
Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”
Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!
Apa yang telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.....
Komentar
Posting Komentar