KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-23


Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, dia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan dia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai dia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya.
Dia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi. Dia sudah merasa demikian akrab, apa lagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong pun menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu serta puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia pun tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
“Mereka berdua tahu, toako. Justru karena pembunuhan itulah mereka kemudian pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang telah membunuh ayahnya. Karena tuduhan inilah Sie Liong melarikan diri dan anakku itu lalu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuhnya, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ahh... ahhh...!”
Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh.
“Hong-moi... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu amat hebat, akan tetapi juga tertimpa mala petaka yang lebih hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihainya, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan kini puterimu bahkan mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya... aku sendiri percaya bahwa dialah yang membunuh suamiku, tetapi... tetapi sekarang tidak lagi...”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari oleh banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Dia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Dia tertarik kepada pendekar ini dan kalau dia menghendaki pergaulan yang jujur, dia pun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan dia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekali pun!
Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaan dirinya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Oleh karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan….” Ia berhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.
“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu bila aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah, toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, pandang matanya mengeluarkan sinar mencorong, dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. “Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia lalu memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aihh, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi dan terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati dari pada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”
“Aku percaya, aku percaya... aihh, si keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku menjadi isterinya, dia lalu meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan. Harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia sampai mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...”
“Hemm...” Bouw Tek mengerutkan alisnya.
Dia tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki lelaki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia lalu berkata lirih, “Hemm, ternyata dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...”
Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang sangat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami. Dia takut kalau Sie Liong kelak akan membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong ikut belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan sesudah sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh...! Hemm...!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki adalah suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Agaknya, Sie Liong juga menyadari bahwa dia dibenci oleh kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan mulai suka mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis.
Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.
Tidak lama kemudian, Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis. Ketika dia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, dia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kami pun dihamburkan oleh suamiku itu dan aku pun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan mudah Sie Liong bisa mengalahkannya tanpa melukainya. Suamiku sama sekali tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi amat sakti itu.”
“Dan adikmu masih tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, dia pun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan aku pun tentu saja terus merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapat perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, mendadak puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
“Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin,” kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
“Benar, toako. Dia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kau tahu, toako, antara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sute-nya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan….” Wanita itu berhenti lagi.
Bouw Tek dengan tenang menunggu kelanjutan cerita itu karena dia dapat merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membaca pikiran pendekar itu dan lantas menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.”
Kembali Lan Hong diam, akan tetapi kini ia nampak demikian berduka.
“Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”
Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. “Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”
“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.
“Gadis itu puteriku, toako...”
“Ahh, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”
“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.”
“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu padanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, sebab bagaimana pun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”
Lie Bouw Tek termenung. Memang keadaan serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya.
“Akan tetapi, tentunya Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu, dan karena itu dia membunuh musuh besarnya.”
Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadinya pembunuhan, aku pun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mengetahuinya! Dia menyangkal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan dia pun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”
“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”
“Karena sebelumnya ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta supaya Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan itu, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, orang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Oleh karena itu, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong sebab sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.”
“Ehhh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”
Lan Hong kemudian menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang telah diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.
Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.
“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Jika dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengarnya dariku. Apa bila bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sulit menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya supaya jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunuh dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.”
“Hemmm...” Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kau sangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia harus membunuh suamimu yang baru dijumpainya?”
“Aku pun sudah memikirkan hal itu dan juga telah menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walau pun dia sute-nya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?”
Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walau pun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia dapat melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok sambil mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?”
Lie Bouw Tek masih terus memandang dengan kagum, dan mendengar pertanyaan itu dia pun mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?”
“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku lalu mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lhasa.”
Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang tiba-tiba memusuhi Kun-lun-pai!
Dalam perantauannya di daerah ini, dia pun pernah mendengar bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri dan pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pendeta Lama itu masih ada hubungannya dengan hal itu.
“Setelah mendengar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Engkau jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Syukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dengan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa di antara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”
“Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi aku pun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”
“Kalau begitu, yang lebih penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus segera menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sute-nya sendiri, bukan oleh pamannya.”
Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walau pun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.”
Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan goa, dekat api unggun.
Bouw Tek semakin tertarik kepada Lan Hong. Dia tidak dapat menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan dirinya kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya.
Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu. Akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat!
Dia pun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk... membicarakan soal keputusan hatinya.
Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya. Hmm…..
********************
Semua mata memandang serta semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lhasa pada tengah hari itu untuk makan siang.
Seorang pelayan kedai itu menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi... manisnya...!”
“Lihat bentuk tubuhnya... seperti kijang emas...!”
“Matanya... ahhh, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihatlah, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak dan membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang... ha-ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat.
Ia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apa lagi mencintanya!
Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar, apa lagi suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka sudah tepat dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya dia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok!
Ingin dia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi dia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya tak akan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.
Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh semua ejekan itu, seolah-olah pemuda itu tidak pernah mendengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walau pun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, ia pun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko, kedai ini cukup enak tempatnya, ya? Akan tetapi, entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling. Dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dari dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka. Jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dengan sikap yang berani dan berandalan.
Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh. “Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!”
Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suara mereka. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur...!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tidak dapat menahan lagi kemarahannya walau pun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
“Hei, bung pelayan, ke sinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, jika engkau tidak mau mengusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan sekarang terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot pada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu.
Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan.
Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada waktu itu, Sie Liong sudah bangkit berdiri karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kami pun tak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja? Nona ini harus minta maaf pada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan denganmu! Hayo ke sini dan rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, akan tetapi nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkan olehnya.
Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, ketiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”
Si baju kuning langsung mengayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tapi tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!”
Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, yang kesakitan bukan yang punya kepala, melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan semua buku tulang jari tangannya seperti remuk rasanya.
Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan mereka, ketiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biar pun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka sangat kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut...!” Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg...!”
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar serta lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu. Sekarang pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai...!” terdengar orang berbisik-bisik.
Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (Perkumpulan Hati Emas), semua orang amat terkejut. Semua orang telah mengetahui bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggota pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.
Pada saat mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, sekarang memandang dengan muka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.
“Ha-ha-ha, kalian tiga cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa kalian, ataukah kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
“Baik... baik...”
Ketiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu.
Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.
“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harga nyawa kalian!”
“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti oleh dua orang kawannya.
“Sudahlah,” berkata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”
Para tamu saling pandang. Mereka semua telah mendengar bahwa apa bila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.
Maka, bangkitlah para tamu itu dan mereka pun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Meski tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, menghasilkan derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.
Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan terus melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang tadi telah mendapatkan malu besar di depan para tamu, dan terutama sekali penghinaan yang barusan dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan derma, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?”
Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.
Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.
Sementara itu, walau pun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, akan tetapi sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, Sie Liong sudah tertarik sekali.
Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to yang membantu Thai Yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu dulu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!
Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah maka dia akan dapat memperoleh keterangan yang sangat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.
Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka pada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada yang dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.
“Brakkk…!”
“Hei, onta bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?”
Sie Liong adalah seorang penyabar. Akan tetapi sekarang dia, dan terutama sekali Ling Ling, diganggu orang selagi makan. Dia lalu menoleh dan memandang kepada si baju kuning.
“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”
“Keparat, kau berani melawanku?”
Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.
Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanannya yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
“Tukkk!”
Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang, lalu terguling-guling!
Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Tapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itu pun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.
Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum.
Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biar pun hatinya menjadi besar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya, akan tetapi Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, dia pun ikut melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sampai tidak dapat ditahannya dan ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum.
Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu. Diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, “Liong-ko, awas... dia datang...!”
Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seakan-akan ada seekor beruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong hanya sejenak saja memandang, kemudian dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walau pun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.
Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik!
Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka bisa membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok mau pun terhadap si gadls manis!
“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”
Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan mereka, juga si bongkok!
Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah menjadi merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksasa yang berdiri jangkung di depannya itu.
“Losuhu, engkau adalah seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”
Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.
“Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Apa bila kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan menelanjangi kalian dengan paksa di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”
“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Losuhu, jika bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”
“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.
Dua pipi Sie Liong mulai berubah merah. Dia pun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggota Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor beruang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PENDEKAR BONGKOK

Bu Kek Siansu