KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-29
Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan
dia pun menyerang Pek Lan yang menyambut pula dengan pedangnya. Mereka
pun bertanding dengan seru, tapi tentu saja hanya nampaknya demikian
karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak
sungguh-sungguh bertanding.
Thai Yang Suhu segera mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.
“Trangggg...!”
Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan... pedang di tangan pendeta dari Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang prajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.
Thai Yang Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan dia pun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. “Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”
Pada saat itu pula, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan ia pun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. “Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum luar biasa. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai daerah lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai Yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?”
Sebelum Bi Sian sempat menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan telah menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, tetapi hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan mempunyai julukan Pendekar Bongkok...!”
Bi Sian memberi isyarat kepada sute-nya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sute-nya telah memperkenalkan nama mereka, bahkan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.
“Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang amat kuat karena kami pun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”
Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biar pun Pek Lan dan Thai Yang Suhu telah memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.
“Enci Pek Lan,” kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberi tahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?”
Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan dia pun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. “Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, juga termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok sekarang. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.”
Bong Gan menoleh kepada suci-nya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, “Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati hendak menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?”
Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia lalu menyarungkan pedangnya kembali.
Thai Yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, apa nama pedang pusaka itu, nona?”
Bi Sian merasa sangat bangga dengan pedangnya. Ia pun menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, “Totiang, pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.”
Makin giranglah rasa hati Thai Yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimana pun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!
Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali pada saat memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja saja layaknya.
Di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya karena sudah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para prajurit anggota pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Sian dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan amat ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.
“Harap ji-wi jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman, dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. “Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini sudah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya.”
“Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,” berkata Pek Lan. “Betapa pun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apa lagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!”
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemerintah Dalai Lama di Tibet.
Apa bila diam-diam Bong Gan merasa sangat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu mau pun Thai Yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri di dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
“Nona, cicipilah masakan ini!” kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu.
“Ini adalah masakan asli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!”
Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
“Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?” tanyanya, masih merasa ragu-ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walau pun baunya sedap dan masih mengepul panas.
“Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan dari seekor binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!”
Pangeran itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”
Bong Gan tersenyum. “Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”
Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
“Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan atau pun ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat sekaligus ahli memasak! Masakan sumsum tulang punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiri pun sudah merasakan khasiatnya!” kata Pek Lan.
“Siancai, memang tepat sekali,” kata pula Thai Yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa bagaikan muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sinkang!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan sekarang ia pun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena dia dan Bong Gan yang sedang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan bagi mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis!
Bi Sian mulai merasa gembira. Ia merasa mendapat teman-teman yang menyenangkan. Maka ia pun minum arak lebih banyak dari biasanya. Apa lagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu sudah berubah kemerahan dan bibirnya pun hampir tak pernah berhenti tersenyum manis. Akan tetapi, ketika dia memegang kepalanya, kepala itu langsung terkulai ke atas meja. Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.
“Suci, kau kenapa...?” katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.
Bi Sian mengangkat muka sambil tersenyum. Dari pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
“Sute... aku... ahhh, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...”
Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”
Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai Yang Suhu yang mengangguk-angguk puas. Tak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.
“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkau pun telah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”
“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”
“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, namun kurasa kamar ini pun cukup besar, tempat tidurnya pun cukup luas untuk kalian berdua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak peduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sute-nya.
“Aku... aku pening... mau tidur...!” katanya.
Bi Sian hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
“Marilah, suci, mari kubantu engkau... aku pun agak pening... mari kita beristirahat...!”
Bong Gan memapah tubuh suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu suci-nya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya untuk melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
“Sute... kenapa... kau di sini...? Aku mau tidur, pergilah...”
Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan dia lalu duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.
“Suci, kita hanya mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”
Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar sudah membakar dirinya sehingga wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
“... kenapa begitu... ahhh... sudahlah, aku mau tidur...”
Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai oleh tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dan membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.
“Sute... jangan begitu...”
“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aihhh, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang sudah semakin dalam menguasai dirinya. “Jangan, sute... jangan...” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan oleh Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan di luar kesadarannya, gadis yang diidamkan itu sudah membalas semua kemesraannya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, kedua saudara seperguruan ini tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian, dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, bisa dibayangkan betapa kagetnya Bi Sian melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sute-nya yang juga berbugil! Seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi!
Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, lalu meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat suci-nya sudah berpakaian dan kini sedang berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara suci-nya membentak dan dari nadanya jelas bahwa suci-nya marah bukan main.
“Ehh... kenapa kita... kenapa aku di sini... kenapa tidur di sini dan... ehh, apa yang telah kita lakukan ini...?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.
“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi.
Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. “Sudah... sudah kupakai, suci...”
Bi Sian membalik dan sekali pedangnya menyambar, tahu-tahu telah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
“Suci... kenapa... kau hendak membunuhku...?”
“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang sudah kau lakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kau lakukan? Keparat engkau!”
“Suci! Apa... apa yang telah kulakukan...? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita...,” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “... suci, sayup-sayup aku teringat... bukankah engkau pun... ehh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam...?”
Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari sepasang matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
“Aku... aku berada di dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau... kau menggunakan kesempatan itu untuk... untuk...”
“Suci, engkau sungguh-sungguh tidak adil! Apa bila aku sejahat itu, tanpa perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau bisa terbius, kenapa aku tidak? Aku pun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dan dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku bila keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku... ehhh, cinta padamu, suci...”
“Jangan sentuh aku!” Bi Sian membentak ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya.
Ia pun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sute-nya tidak bersalah. Sute-nya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan dia pun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.
“Suci...!” Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang.
Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik sekali, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.
“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi...!” katanya dengan suara merdu dan gembira.
“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.
Pek Lan terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?”
Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”
“Tapi... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kau undang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua... kemudian kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga... kami melakukan pelanggaran...”
Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Pek Lan, engkau sudah menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.
“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan padaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai Yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang ke dalam makanan dan minuman kalian bukan kami.”
“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu dia pun mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan...”
Pek Lan menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingatlah, bahwa kita sekarang sedang berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang prajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ.
Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan dia pun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan perabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. “Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, kemudian mereka saling pandang dengan penuh keheranan. “Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan.
“Bagaimana mungkin kami dapat percaya soal itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil...”
“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. “Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan memang makanan itu mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini hanya diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itu pun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya juga merupakan hidangan-hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”
“Akan tetapi, kalau pangeran itu sudah tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia tetap menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”
Pek Lan menggelengkan kepalanya. “Sama sekali dia tak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian berdua memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”
“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah...!”
“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau ada seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Oleh karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk. Pula semua itu sudah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Apa bila memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”
“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat dicuci dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak. Ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak memiliki niat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat untuk menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang prajurit Nepal? Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak peduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting dari pada nyawa!” Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.
“Suci... ahhh, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah-tengah benteng mereka, kita tak mungkin mampu melawan mereka...” Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. “Sute! Engkau masih berani berkata demikian? Engkau takut mati?! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak akan dapat merasakan penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”
Melihat sikap suci-nya itu, mendadak saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis!
“Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku sudah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku sudah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, juga satu-satunya orang yang sudah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.”
“Sute, cukup...!” Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil dengan baik, maka dia pun lalu memperkuat tangisnya. “Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup jika melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku supaya rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci...!”
Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, kemudian mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua hal ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka.
Pek Lan diam-diam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andai kata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan sandiwara itu ternyata berhasil pula mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sute-nya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
“Suci, kalau engkau tak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya.
Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali pada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati.
Ia pun tahu bahwa sute-nya amat mencintanya dan kini, sute-nya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya.
Bagaimana pun juga, yang menodai dirinya adalah sute-nya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti bahwa pemuda ini akan menjadi suaminya kelak.
“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta di antara kalian, terutama sekali apa yang sudah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biar pun dia itu sute-mu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok sekali untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”
Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari para anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
“Jangan main-main, enci!” berkata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu apa bila benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”
Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja dia berani bertanggung jawab karena dia sudah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok sudah menjadi tawanan Kim Sim Lama!
“Aku tanggung. Bahkan aku pun berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”
Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. “Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku dapat menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu...”
“Suci! Terima kasih...!” Bong Gan berseru gembira walau pun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
“Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, bila kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita melangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itu, engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”
“Baik... baik...” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”
Wajah Bi Sian menjadi kemerahan, akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, ia pun mengangguk.
Melihat ini, Pek Lan girang bukan main. Ia pun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”
Biar pun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan hanya sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan.
Pek lan yang telah mengatur semuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian. Dia pun berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.
“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”
Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit lagi dari Pangeran Maranta Sing, karena biar pun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, tetapi tetap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya.
Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai Yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so.
Mereka menunggang empat ekor kuda. Di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai mala petaka. Dia mulai dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu.
Tak sedikit pun pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang sudah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai Yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing…..
********************
Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.
Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sinkang-nya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya terasa seperti ditusuk. Pernah dia mencoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga langsung datang menghadangnya.
“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman untukmu akan kami antar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menjaga di luar pintu kamar itu.
Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.
“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biar pun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku pun tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.
Biar pun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sinkang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sinkang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa sangat nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, dia pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi aku bukan hanya mendorong, melainkan memukulmu!”
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, dia pun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang sudah dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya?
Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sinkang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan!
Sambil duduk bersila, otak Sie Liong bekerja. Dia berusaha mengingat segala sesuatu. Pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama.
Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, barulah dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai Yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu.
Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang untuk bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melewati pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, baru mereka tahu bahwa ternyata pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apa lagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai Yang Suhu.
“Omitohud...” Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai Yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. “Maaf, losuhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran dari enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya losuhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan pada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai imbalannya, mereka akan membantu perjuangan kita.”
Kim Sim Lama tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang sangat baik untuk ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberi tahukan kepada ji-wi mengenai Pendekar Bongkok?”
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala.
Pek Lan tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh losuhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ahh, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!”
“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia sudah tertawan di sini. Bagai mana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Dia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
“Omitohud... Nona terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai Yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
“Nah, kalian berdua lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang pria bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!
“Tidak mungkin...” Bi Sian berkata lirih ketika melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu hanya ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu... begitu... jinak?”
“Ha-ha-ha, tak perlu heran, nona. Dia telah kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia kini menjadi seorang yang lemah, ha-ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong.
Kini, mendengar bahwa pendekar itu sudah kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, ia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong membuka mata. Dia amat terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya!
Gerakan orang itu demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong lalu mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.
Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
“Crokkkk!”
Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sinkang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang sangat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai.
Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya dia pun roboh pingsan di atas pembaringan.....
Thai Yang Suhu segera mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.
“Trangggg...!”
Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan... pedang di tangan pendeta dari Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang prajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.
Thai Yang Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan dia pun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. “Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”
Pada saat itu pula, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan ia pun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. “Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum luar biasa. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai daerah lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai Yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?”
Sebelum Bi Sian sempat menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan telah menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, tetapi hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan mempunyai julukan Pendekar Bongkok...!”
Bi Sian memberi isyarat kepada sute-nya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sute-nya telah memperkenalkan nama mereka, bahkan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.
“Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang amat kuat karena kami pun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”
Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biar pun Pek Lan dan Thai Yang Suhu telah memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.
“Enci Pek Lan,” kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberi tahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?”
Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan dia pun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. “Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, juga termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok sekarang. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.”
Bong Gan menoleh kepada suci-nya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, “Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati hendak menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?”
Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia lalu menyarungkan pedangnya kembali.
Thai Yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, apa nama pedang pusaka itu, nona?”
Bi Sian merasa sangat bangga dengan pedangnya. Ia pun menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, “Totiang, pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.”
Makin giranglah rasa hati Thai Yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimana pun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!
Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali pada saat memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja saja layaknya.
Di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya karena sudah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para prajurit anggota pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Sian dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan amat ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.
“Harap ji-wi jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman, dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. “Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini sudah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya.”
“Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,” berkata Pek Lan. “Betapa pun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apa lagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!”
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemerintah Dalai Lama di Tibet.
Apa bila diam-diam Bong Gan merasa sangat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu mau pun Thai Yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri di dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
“Nona, cicipilah masakan ini!” kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu.
“Ini adalah masakan asli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!”
Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
“Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?” tanyanya, masih merasa ragu-ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walau pun baunya sedap dan masih mengepul panas.
“Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan dari seekor binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!”
Pangeran itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”
Bong Gan tersenyum. “Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”
Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
“Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan atau pun ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat sekaligus ahli memasak! Masakan sumsum tulang punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiri pun sudah merasakan khasiatnya!” kata Pek Lan.
“Siancai, memang tepat sekali,” kata pula Thai Yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa bagaikan muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sinkang!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan sekarang ia pun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena dia dan Bong Gan yang sedang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan bagi mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis!
Bi Sian mulai merasa gembira. Ia merasa mendapat teman-teman yang menyenangkan. Maka ia pun minum arak lebih banyak dari biasanya. Apa lagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu sudah berubah kemerahan dan bibirnya pun hampir tak pernah berhenti tersenyum manis. Akan tetapi, ketika dia memegang kepalanya, kepala itu langsung terkulai ke atas meja. Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.
“Suci, kau kenapa...?” katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.
Bi Sian mengangkat muka sambil tersenyum. Dari pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
“Sute... aku... ahhh, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...”
Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”
Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai Yang Suhu yang mengangguk-angguk puas. Tak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.
“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkau pun telah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”
“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”
“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, namun kurasa kamar ini pun cukup besar, tempat tidurnya pun cukup luas untuk kalian berdua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak peduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sute-nya.
“Aku... aku pening... mau tidur...!” katanya.
Bi Sian hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
“Marilah, suci, mari kubantu engkau... aku pun agak pening... mari kita beristirahat...!”
Bong Gan memapah tubuh suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu suci-nya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya untuk melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
“Sute... kenapa... kau di sini...? Aku mau tidur, pergilah...”
Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan dia lalu duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.
“Suci, kita hanya mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”
Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar sudah membakar dirinya sehingga wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
“... kenapa begitu... ahhh... sudahlah, aku mau tidur...”
Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai oleh tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dan membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.
“Sute... jangan begitu...”
“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aihhh, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang sudah semakin dalam menguasai dirinya. “Jangan, sute... jangan...” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan oleh Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan di luar kesadarannya, gadis yang diidamkan itu sudah membalas semua kemesraannya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, kedua saudara seperguruan ini tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian, dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, bisa dibayangkan betapa kagetnya Bi Sian melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sute-nya yang juga berbugil! Seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi!
Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, lalu meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat suci-nya sudah berpakaian dan kini sedang berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara suci-nya membentak dan dari nadanya jelas bahwa suci-nya marah bukan main.
“Ehh... kenapa kita... kenapa aku di sini... kenapa tidur di sini dan... ehh, apa yang telah kita lakukan ini...?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.
“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi.
Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. “Sudah... sudah kupakai, suci...”
Bi Sian membalik dan sekali pedangnya menyambar, tahu-tahu telah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
“Suci... kenapa... kau hendak membunuhku...?”
“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang sudah kau lakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kau lakukan? Keparat engkau!”
“Suci! Apa... apa yang telah kulakukan...? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita...,” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “... suci, sayup-sayup aku teringat... bukankah engkau pun... ehh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam...?”
Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari sepasang matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
“Aku... aku berada di dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau... kau menggunakan kesempatan itu untuk... untuk...”
“Suci, engkau sungguh-sungguh tidak adil! Apa bila aku sejahat itu, tanpa perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau bisa terbius, kenapa aku tidak? Aku pun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dan dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku bila keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku... ehhh, cinta padamu, suci...”
“Jangan sentuh aku!” Bi Sian membentak ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya.
Ia pun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sute-nya tidak bersalah. Sute-nya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan dia pun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.
“Suci...!” Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang.
Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik sekali, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.
“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi...!” katanya dengan suara merdu dan gembira.
“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.
Pek Lan terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?”
Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”
“Tapi... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kau undang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua... kemudian kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga... kami melakukan pelanggaran...”
Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Pek Lan, engkau sudah menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.
“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan padaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai Yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang ke dalam makanan dan minuman kalian bukan kami.”
“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu dia pun mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan...”
Pek Lan menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingatlah, bahwa kita sekarang sedang berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang prajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ.
Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan dia pun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan perabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. “Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, kemudian mereka saling pandang dengan penuh keheranan. “Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan.
“Bagaimana mungkin kami dapat percaya soal itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil...”
“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. “Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan memang makanan itu mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini hanya diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itu pun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya juga merupakan hidangan-hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”
“Akan tetapi, kalau pangeran itu sudah tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia tetap menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”
Pek Lan menggelengkan kepalanya. “Sama sekali dia tak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian berdua memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”
“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah...!”
“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau ada seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Oleh karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk. Pula semua itu sudah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Apa bila memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”
“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat dicuci dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak. Ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak memiliki niat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat untuk menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang prajurit Nepal? Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak peduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting dari pada nyawa!” Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.
“Suci... ahhh, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah-tengah benteng mereka, kita tak mungkin mampu melawan mereka...” Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. “Sute! Engkau masih berani berkata demikian? Engkau takut mati?! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak akan dapat merasakan penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”
Melihat sikap suci-nya itu, mendadak saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis!
“Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku sudah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku sudah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, juga satu-satunya orang yang sudah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.”
“Sute, cukup...!” Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil dengan baik, maka dia pun lalu memperkuat tangisnya. “Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup jika melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku supaya rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci...!”
Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, kemudian mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua hal ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka.
Pek Lan diam-diam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andai kata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan sandiwara itu ternyata berhasil pula mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sute-nya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
“Suci, kalau engkau tak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya.
Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali pada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati.
Ia pun tahu bahwa sute-nya amat mencintanya dan kini, sute-nya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya.
Bagaimana pun juga, yang menodai dirinya adalah sute-nya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti bahwa pemuda ini akan menjadi suaminya kelak.
“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta di antara kalian, terutama sekali apa yang sudah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biar pun dia itu sute-mu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok sekali untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”
Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari para anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
“Jangan main-main, enci!” berkata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu apa bila benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”
Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja dia berani bertanggung jawab karena dia sudah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok sudah menjadi tawanan Kim Sim Lama!
“Aku tanggung. Bahkan aku pun berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”
Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. “Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku dapat menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu...”
“Suci! Terima kasih...!” Bong Gan berseru gembira walau pun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
“Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, bila kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita melangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itu, engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”
“Baik... baik...” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”
Wajah Bi Sian menjadi kemerahan, akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, ia pun mengangguk.
Melihat ini, Pek Lan girang bukan main. Ia pun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”
Biar pun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan hanya sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan.
Pek lan yang telah mengatur semuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian. Dia pun berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.
“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”
Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit lagi dari Pangeran Maranta Sing, karena biar pun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, tetapi tetap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya.
Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai Yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so.
Mereka menunggang empat ekor kuda. Di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai mala petaka. Dia mulai dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu.
Tak sedikit pun pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang sudah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai Yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing…..
********************
Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.
Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sinkang-nya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya terasa seperti ditusuk. Pernah dia mencoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga langsung datang menghadangnya.
“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman untukmu akan kami antar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menjaga di luar pintu kamar itu.
Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.
“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biar pun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku pun tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.
Biar pun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sinkang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sinkang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa sangat nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, dia pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi aku bukan hanya mendorong, melainkan memukulmu!”
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, dia pun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang sudah dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya?
Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sinkang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan!
Sambil duduk bersila, otak Sie Liong bekerja. Dia berusaha mengingat segala sesuatu. Pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama.
Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, barulah dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai Yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu.
Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang untuk bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melewati pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, baru mereka tahu bahwa ternyata pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apa lagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai Yang Suhu.
“Omitohud...” Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai Yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. “Maaf, losuhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran dari enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya losuhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan pada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai imbalannya, mereka akan membantu perjuangan kita.”
Kim Sim Lama tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang sangat baik untuk ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberi tahukan kepada ji-wi mengenai Pendekar Bongkok?”
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala.
Pek Lan tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh losuhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ahh, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!”
“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia sudah tertawan di sini. Bagai mana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Dia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
“Omitohud... Nona terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai Yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
“Nah, kalian berdua lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang pria bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!
“Tidak mungkin...” Bi Sian berkata lirih ketika melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu hanya ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu... begitu... jinak?”
“Ha-ha-ha, tak perlu heran, nona. Dia telah kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia kini menjadi seorang yang lemah, ha-ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong.
Kini, mendengar bahwa pendekar itu sudah kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, ia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong membuka mata. Dia amat terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya!
Gerakan orang itu demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong lalu mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.
Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
“Crokkkk!”
Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sinkang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang sangat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai.
Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya dia pun roboh pingsan di atas pembaringan.....
Komentar
Posting Komentar